Jumat 07 Jun 2019 02:00 WIB

Tetap Jadi Pribadi yang Sama Bukanlah Pilihan yang Buruk

Menjadi pribadi yang sama dari waktu ke waktu bukanlah hal yang buruk.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Reiny Dwinanda
Orang merenung. (Ilustrasi)
Foto: patch
Orang merenung. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tren masyarakat saat ini mendorong seseorang untuk meningkatkan diri menjadi pribadi yang berbeda. Buku-buku pengembangan diri pun banyak diburu untuk mendapatkan versi lain yang diharapkan membuat diri lebih baik.

Menjadi pribadi yang sama setiap tahun sering dianggap tidak baik dijalani. Namun, sebuah studi baru yang diterbitkan dalam jurnal Social Psychological and Personality Science menemukan ada juga nilai untuk tetap sama.

Orang-orang yang membayangkan tetap konstan selama bertahun-tahun mungkin memiliki kehidupan yang lebih memuaskan daripada mereka yang berpikir akan tumbuh berbeda.

"Ketika orang berpikir tentang diri mereka sendiri dari waktu ke waktu, orang-orang yang menganggap ada kesamaan paling banyak antara siapa mereka sekarang dan siapa mereka di masa depan akhirnya menjadi lebih puas dengan kehidupan mereka dalam 10 tahun mendatang," kata penulis studi dan asssociate professor of marketing di University of California Los Angeles Anderson School of Management Hal Hershfield, dikutip dari Time.

Studi ini didasarkan pada data dari hampir 5.000 orang dewasa yang mengikuti survei Midlife Development di Amerika Serikat. Pada 1990-an, ketika orang berusia 20 hingga 75 tahun, mereka menjawab pertanyaan tentang sifat kepribadian mereka saat ini, seperti seberapa tenang, peduli, bijak, mau belajar, energetik, dan berpengetahuannya responden.

Mereka pun diminta memikirkan apakah sifat-sifat itu mungkin berubah selama dekade mendatang. Responden juga diminta menjawab pertanyaan tentang seberapa puas mereka dengan pekerjaan, kesehatan, hubungan, dan kehidupan mereka secara keseluruhan.

Satu dekade kemudian, mereka diminta kembali menjawab pertanyaan yang sama. Setelah membandingkan hasil dan menyesuaikan untuk faktor-faktor, seperti usia, jenis kelamin, pendapatan, dan pendidikan, peneliti menemukan ada korelasi antara memprediksi masa depan yang mirip dengan diri saat ini dan puas dengan kehidupan di kemudian hari. Bayangan masa depan yang serupa lebih kuat terkait dengan kesejahteraan daripada jumlah perkiraan perubahan, baik negatif maupun positif.

"Orang-orang sama sekali tidak akurat dalam memprediksi berapa banyak mereka akan berubah," kata rekan penulis studi Joseph Reiff.

Mahasiswa doktoral dalam pengambilan keputusan perilaku di UCLA Anderson mengatakan, tidak masalah untuk berpikir kita akan tetap sama, bahkan jika itu salah. Sebab, pikiran ini dikaitkan dengan kesejahteraan masa depan yang lebih besar.

Dalam beberapa hal, temuannya intuitif. Seseorang yang berharap untuk tetap sama mungkin memiliki kehidupan yang cukup menyenangkan dan stabil, sementara seseorang yang mengharapkan perubahan mungkin memiliki alasan yang baik untuk menginginkan sesuatu yang berbeda.

Tapi, Reiff mengatakan, temuan itu konstan terlepas dari keadaan kehidupan yang sering mempengaruhi kesejahteraan, seperti kelas dan usia sosial ekonomi. Hal ini mungkin karena orang membayangkan perasaan yang serupa dengan diri mereka di masa depan.

Orang-orang tersebut cenderung membuat pilihan yang akan bermanfaat bagi diri di masa depan, apakah itu berarti mempertahankan kesehatan yang baik dengan berolahraga dan makan dengan benar atau menabung untuk pensiun. Namun, orang-orang yang berpikir mereka akan benar-benar berbeda di masa depan mungkin kurang termotivasi untuk membuat pilihan berwawasan ke depan sekarang.

Aspirasi telah lama diketahui memiliki kelemahan. Satu studi tahun 2002 menemukan orang yang memiliki fantasi positif tentang kehidupan masa depan cenderung memiliki hasil kehidupan yang lebih negatif.

Berfantasi sering berarti meremehkan kerja keras yang benar-benar masuk ke dalam kesuksesan dan karena itu dapat mencegah orang dari bekerja untuk membuat impian menjadi kenyataan. Penelitian juga menunjukkan berusaha terlalu keras untuk menjadi bahagia bisa menjadi bumerang, karena lebih cenderung terjebak pada emosi negatif ketika emosi itu muncul ke permukaan.

Dengan hasil penelitian tersebut, apa artinya seseorang tidak diperbolehkan mengubah pribadi mereka? Peneliti mengatakan, berjuang untuk perbaikan diri, selama orang bertindak berdasarkan rencana realistis dan spesifik untuk perubahan, tentu tidak menjadi masalah.

Ahli menyarankan untuk memecah tujuan menjadi beberapa bagian yang lebih kecil, seperti membuat rencana tindakan yang konkret dan memahami cara mencapai tujuan yang lebih besar dan mengatasi hambatan. Cara tersebut dapat membantu mencapai hasil yang diinginkan.

Orang-orang yang secara serius perlu mempertimbangkan perubahan yang ingin dibuat serta hambatan yang menghalangi. Kondisi ini mungkin juga akan membuat keputusan terukur dan proaktif dari seseorang yang terhubung dengan diri mereka di masa depan.

"Dugaan saya adalah orang yang ingin menjadi lebih baik dan juga mengenali apa yang menghalangi jalannya adalah orang-orang yang akan mengambil tindakan untuk mencapai tempat yang lebih baik dalam hidup. Tidak buruk untuk berpikir positif tentang masa depan, selama kita berpikir tentang apa yang menghalangi dan bagaimana kita bisa mengatasinya," kata peneliti studi tersebut.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement