REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belum selesai dengan penanggulangan ketergantungan rokok di Indonesia, para dokter dan pemerintah mulai ketambahan permasalahan baru. Masalah itu adalah ketergantungan rokok elektrik atau e-cigarette dan konsumsi shisha.
Dokter pulmonologi dari Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Sita Andarini, menyebut rokok elektrik bukan merupakan subsitusi atau pengganti rokok bagi orang yang ingin merokok. Sebab, menurut penelitian global, rokok elektrik tak berhasil membuat orang berhenti merokok.
“Rokok elektrik tidak membuat orang berhasil berhenti merokok. Jadi misalnya orang mau berhenti merokok lalu pakai rokok elektrik saja, itu ternyata tidak berhasil menurunkan orang berhenti merokok, dari data penelitian internasional,” kata Sita saat ditemui pada Selasa (18/6).
Menurutnya, ada data analisis internasional yang menemukan bahwa rokok elektrik tidak bisa menjadi bahan sebagai pengganti rokok. Terlebih tidak bisa membuat orang untuk berhenti merokok.
Konsumsi rokok elektrik khususnya pada perokok muda malah membuat mereka memiliki kebiasaan merokok. Habituasi itu, kata dia, nantinya akan terus ada sampai ketika dia tumbuh besar dan dewasa menjadi seorang perokok.
Terlepas dari bahan-bahan racun yang ada pada rokok elektrik, kadar nikotin pada rokok elektrik cukup membuat rokok itu tak jauh berbeda dengan rokok biasa. Hal itu didasarkan dari penelitian yang telah dia lakukan sebelumnya.
“Kita cek melalui urin ternyata kadar nikotinnya sama dengan perokok aktif,” tutur dia.
Meskipun kadar nikotin yang ada pada rokok elektrik bisa diatur jumlah atau takarannya, namun zat nikotin telah memberikan dampak ketergantungan. Artinya, seberapa besar takaran nikotinnya, zat nikotin merupakan zat adiktif.
Alat hisap shisha menurut penelitian mengandung nikotin yang sangat tinggi. Sita menuturkan satu buah shisha memiliki nikotin yang setara dengan merokok sebanyak 20 batang.
“Menurut data penelitian kandungan cairan shisha yang mengandung nikotin yang tinggi. Jadi shisha itu lebih tinggi nikotin daripada rokok,” jelas dia.
Shisha mengandung uap air sementara konsumen juga kerap tak diberikan informasi yang jelas mengenai kandungan dari air tersebut. Dengan demikian shisha memiliki potensi merusak yang lebih besar daripada rokok.
“Yang sering datang ke Rumah Sakit Persahabatan itu adalah orang-orang yang sakit infeksi paru. Infeksi paru itu dikarenakan mereka adalah perokok shisha,” ungkap salah satu dokter di RS Persahabatan itu.