REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dokter endokrin Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD mengatakan penanganan penderita diabetes harus selesai di faskes pertama. Tujuannya untuk mencegah pembengkakan BPJS dan juga terjadinya mencegah komplikasi pada pasien.
"Sebanyak 80 persen pasien diabetes harusnya sudah selesai di faskes satu. Jadi tidak sedikit-sedikit dirujuk ke tingkatan yang lebih tinggi. Setiap rujukan itu juga akan memakan dana," kata dia, di Jakarta, Senin (1/7).
Menurut dia ada beberapa alasan mengapa faskes satu belum bisa menyelesaikan masalah tersebut, di antaranya fasilitas kesehatan yang belum dan pengadaan obat untuk penderita diabetes yang belum sempurna. Berdasarkan data BPJS Kesehatan, pada 2018 pelayanan untuk penyakit diabetes merupakan biaya terbesar untuk kategori penyakit kronis, yaitu sebesar Rp 6,1 triliun.
Ketut Suastika mengatakan sekitar 87,5 persen pembiayaan tersebut digunakan untuk pengobatan diabetes yang sudah komplikasi. Sementara hanya sekitar 0,5 persen biaya tersebut digunakan untuk belanja obat.
"Seandainya biaya obat yang 0,5 persen itu disediakan di faskes satu akan lebih baik. Maka komplikasi pada pasien bisa dicegah dan biaya komplikasi sebesar 87,5 persen tersebut dapat ditekan," kata dia.
Oleh sebab itu dia berharap semua pihak dapat berkomitmen meningkatkan pelayanan diabetes di faskes satu.
"Kita harus mengajak BPJS Kesehatan, kementerian, para dokter dan masyarakat agar mampu merawat pasien di faskes satu, jadi kita dapat menekan beban BPJS," kata pria yang juga menjabat sebagai Ketua Umun Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi (Perkeni)
Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 oleh Departemen Kesehatan menyebutkan prevalensi diabetes mellitus pada 2018 sebesar 10,9 persen. Pada 2017, Indonesia menduduki peringkat keenam dunia dengan jumlah sekitar 10,3 juta penderita diabetes dalam rentang usia 20 hingga 79 tahun.