REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan ada sekitar 15 juta bayi yang lahir prematur setiap tahun. Hal yang cukup mengkhawatirkan adalah WHO mengungkap morbiditas (tingkat sakit) dan mortalitas (kematian) pada bayi yang dilahirkan prematur masih cukup tinggi.
Komplikasi dari kelahiran prematur bahkan menjadi penyebab kematian terbesar pada anak berusia di bawah lima tahun. WHO memperkirakan ada sekitar satu juta kematian terkait komplikasi kelahiran prematur pada 2015.
"Angka morbiditas dan mortalitas dari bayi prematur masih tinggi," terang spesialis obstetri dan ginekologi dari RSUP Persahabatan, Yuyun Lisnawati, usai menjalani sidang promosi doktor di gedung IMERI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Yuyun mengungkapkan ada beragam morbiditas yang dapat mengenai bayi prematur. Salah satu di antaranya adalah penyakit membran hialin (PMH).
PMH disebabkan oleh defisiensi surfaktan. Surfaktan dibutuhkan untuk melapisi permukaan alveolus atau gelembung-gelembung udara yang ada di paru-paru. Surfaktan juga berperan dalam menurunkan tegangan permukaan dan mencegah alveolus kolaps sehingga bayi dapat bernapas spontan.
Bayi yang menderita PMH akan mengalami beberapa gejala. Antara lain seperti tampak sesak, bernapas cepat atau takipnea, grunting, dan mengalami retraksi dinding dada. Gejala lainnya adalah sinosis di mana bibir atau kulit tampak berwarna kebiruan akibat kekurangan oksigen.
Mengutip American Lung Association, Yuyun menjelaskan bahwa sekitar 60 persen kasus PMH diderita oleh bayi yang lahir di usia gestasi kurang dari 28 pekan. Sekitar 30 persen lainnya diderita oleh bayi yang lahir di usia gestasi 28-34 pekan. Kurang dari lima persen PMH diderita oleh bayi yang lahir setelah usia gestasi 34 pekan.
Kasus kematian bayi akibat PMH terbilang cukup tinggi. Karena itu upaya pencegahan PMH perlu dilakukan. Salah satu upaya yang saat ini bisa dilakukan adalah pemberian steroid antenatal sebelum bayi dilahirkan.
"Metaanalisis Cochrane membuktikan pemberian steroid antenatal menurunkan angka mortalitas PMH 31 persen dan menurunkan angka kejadian PMH 34 persen," terang Yuyun melalui disertasinya.
Jika bayi lahir menderita PMH, contoh terapi yang bisa diberikan adalah intervensi surfaktan. Intervensi surfaktan dapat menurunkan mortalitas PMH sekitar 30 persen dan morbiditas PMH sekitar 50 persen.
"Intervensi surfaktan tidak selalu dapat dilakuakn karena keterbatasan ruang rawat intensif neonatus dan biaya," jelas Yuyun.
Salah satu cara mengurangi risiko PMH adalah memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan paru janin selama masa kehamilan. Ibu hamil memerlukan nutrisi yang cukup termasuk mikronutrien vitamin A, D, dan seng.
Kekurangan ketiga mikronutrien ini selama kehamilan dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan paru. Kekurangan ketiga mikronutrien ini selama kehamilan juga dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan usus janin. Pada akhirnya dapat memicu masalah kesehatan lain seperti gangguan toleransi minum.
Yuyun menyarankan agar ibu hamil dapat menjaga pola makan dengan baik selama kehamilan. Pastikan makanan yang dikonsumsi bervariasi sehingga ibu hamil bisa mendapatkan beragam zat gizi yang baik untuk kesehatan dan kehamilan dari makanan tersebut. "Jadi jangan cuma satu makanan yang disuka saja, tapi bervariasi," ungkap Yuyun.