REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memanfaatkan kekuatan musik untuk kesehatan bukanlah hal baru. Selama ribuan tahun, berbagai budaya telah menyesuaikan diri dengan memanfaatkan musik di dunia medis.
Contohnya adalah penduduk asli Australia menggunakan suara untuk menyembuhkan. Lalu di India, terapi musik dapat ditelusuri kembali ke mitologi Hindu kuno dan tradisi rakyat
Dilansir South China Morning Post, terapi musik memiliki manfaat yang lebih luas. Antara lain untuk meningkatkan keterampilan kognitif, motorik, emosi, sosial, dan sensorik.
Hal itu berlaku untuk terapi musik reseptif yang melibatkan mendengarkan musik direkam atau live yang dipilih oleh seorang terapis. Ini berlaku pula untuk terapi musik aktif di mana pasien bernyanyi atau memainkan instrumen.
Berdasarkan penelitian klinis, mendengarkan musik menunjukkan dampak positif pada berbagai kondisi. Mulai dari terapi untuk nyeri kronis dan demensia hingga kehilangan ingatan, ADHD, dan autisme.
Studi baru pun pengenalan musik pada anak sejak dalam rahim lewat detak jantung ibunya dan pilihan musiknya dapat menunjukkan efektivitas setelah lahir. Pada Mei lalu, sebuah penelitian di Swiss menemukan musik membantu membangun otak bayi yang sangat prematur atau bayi yang lahir sebelum 32 pekan kehamilan.
Bayi itu memang memiliki peluang bertahan hidup yang baik berkat kemajuan dalam pengobatan neonatal. Meskipun demikian, kelahiran prematur berisiko mengalami gangguan neuropsikologis.
Ini karena otak yang belum matang dari bayi prematur berkembang dalam kondisi yang sangat berbeda dari rahim ibu mereka. Menurut studi, perawatan intensif misalnya, bisa menjadi lingkungan yang penuh tekanan dan bising, dengan pintu terbanting dan alarm berbunyi.
Para peneliti di University of Geneva (UNIGE) dan Geneva University Hospitals (HUG) berkolaborasi dengan pemain harpa dan komposer Swiss Andreas Vollenweider untuk menciptakan suara yang dibuat khusus untuk setiap bayi.
"Rangsangan musik ini terkait dengan kondisi bayi. Kami ingin menyusun hari dengan rangsangan yang menyenangkan pada waktu yang tepat. Musik untuk menemani kebangkitan mereka, musik untuk menemani mereka yang tertidur, dan musik untuk berinteraksi selama fase kebangkitan," kata seorang peneliti di HUG dan UNIGE, Lara Lordier.
Berbagai instrumen digunakan untuk penelitian ini. Akan tetapi yang memiliki dampak paling positif adalah seruling pemikat ular India atau alat yang diisebut pungi.
“Anak-anak yang sangat gelisah menjadi tenang hampir seketika. Perhatian mereka tertuju pada musik,” kata Lordier.
Oktober lalu, penelitian di Kanada melaporkan dalam Psychiatry Translational bahwa intervensi musik pada anak-anak usia sekolah dengan autisme selama delapan hingga 12 pekan meningkatkan komunikasi sosial dan konektivitas otak fungsional mereka.
Di Taiwan bulan lalu, para peneliti merilis sebuah studi yang menemukan mendengarkan musik di rumah meredakan rasa sakit dan gejala lainnya. Antara lain seperti kelelahan fisik dan mental pada pasien dengan kanker payudara.
Dalam studi terhadap 60 pasien kanker payudara, mereka yang ditugaskan untuk mendengarkan musik selama 30 menit. Kegiatan ini dilakukan lima kali sepekan telah secara nyata mengurangi efek samping kanker dan perawatannya selama 24 pekan. Demikian para peneliti melaporkan dalam European Journal of Cancer Care.
“Menggunakan musik dapat mendukung kesehatan fisik dan psikologis pasien,” kata penulis senior Chou Kuei-ru dari Taipei Medical University di Taiwan.
Guru musik Charliah Best, yang mengelola Akademi Musik Terbaik di Hong Kong, tidak terkejut dengan perubahan murid-muridnya, yang berusia tiga tahun yang tengah menjalani terapi dengan menggunakan musik.
"Musik mendorong anak-anak untuk berinteraksi satu sama lain. Alih-alih terus-menerus berinteraksi dengan orang dewasa, ini memungkinkan anak-anak berinteraksi secara alami dan menemukan hal-hal baru di lingkungan yang nyaman. Itulah tujuan program ini," katanya.