Kamis 25 Jul 2019 01:09 WIB

Kuasai Beberapa Bahasa Tekan Risiko Demensia

Peneliti menemukan individu yang kuasai beberapa bahasa mengurangi alzheimer

Rep: Dwina Agustin/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Ilustrasi Demensia
Foto: pixabay
Ilustrasi Demensia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Demensia bukan bagian yang tidak terhindarkan dari proses penuaan normal. Kebanyakan orang dengan usia senja tidak terserang penyakit Alzheimer atau bentuk lain dari demensia.

Demensia mengacu pada hilangnya kemampuan kognitif, dan salah satu bentuk paling umum adalah penyakit Alzheimer. Banyak yang menyatakan belajar bahasa lain adalah salah satu metode untuk mencegah atau setidaknya menunda timbulnya demensia.

Pada usia berapa pun, manusia mungkin mengalami kesulitan menemukan kata persis yang diinginkan atau mengalami kesulitan mengingat nama orang yang baru saja ditemui dan ini bukan ciri demensia. Penderita demensia memiliki masalah yang lebih serius, seperti merasa bingung atau tersesat di tempat yang akrab atau lupa melakukan sesuatu yang biasanya ahli dilakukan.

Terdapat gagasan yang menyatakan, otak seperti otot yang perlu dilatih agar tidak mengalami penurunan. Pada kenyataannya otak bukan otot, sebab, bagian ini selalu aktif dan bekerja bahkan selama periode istirahat dan tidur dan beberapa sel otot memiliki umur hanya beberapa hari, sedangkan sel-sel otak bertahan seumur hidup. 

Hingga saat ini, penyebab demensia belum dapat diketahui dengan pasti, sehingga tidak ada langkah yang terbukti dapat mencegahnya. Meski demikian, beberapa peneliti telah menyarankan belajar bahasa asing dapat membantu menunda timbulnya demensia.

Bukti terbaik pembelajaran bahasa asing memberi manfaat kognitif berasal dari penelitian yang terbit tahun 2009 dengan orang bilingual. Bilingual paling umum terjadi ketika anak-anak dihadapkan pada dua bahasa, baik di rumah atau lebih formal di sekolah awal dan terjadi pula ketika sudah dewasa.

Berkenaan dengan kemampuan kognitif, penelitian pada mereka yang memiliki lebih dari satu bahasa melukiskan gambaran yang menggembirakan. Dua bahasa mengungguli monolingual pada tes perhatian selektif dan multitasking. 

Perhatian selektif dapat diukur dengan apa yang disebut "Tes Stroop" di mana individu melihat daftar nama warna yang ditulis dalam warna berbeda. Tugasnya adalah memberi nama warna pada kata-kata yang dicetak, daripada mengucapkan kata itu sendiri. 

Hasil dari penelitian itu menunjukan bilingual tampil lebih baik di Tes Stroop, serta langkah-langkah lain dari perhatian selektif. Mereka juga lebih baik dalam multitasking. 

Salah satu penjelasan tentang keunggulan ini adalah penutur dua bahasa terus-menerus menghambat salah satu bahasa, dan proses penghambatan ini memberikan manfaat kognitif umum untuk kegiatan lain. Faktanya, individu bilingual mengungguli rekan-rekan satu bahasa pada berbagai ukuran kognitif, seperti melakukan tugas pembentukan konsep, mengikuti instruksi yang kompleks, dan beralih ke instruksi baru. 

Jika manfaat menjadi bilingual meluas ke aspek kognitif lain, maka ada hubungan pengurangan risiko penyakit Alzheimer dalam dwibahasa daripada dalam satu bahasa, atau setidaknya timbulnya Alzheimer untuk bilingual. Psikolog Ellen Bialystok dan rekan-rekannya melakukan studi terhadap 184 orang yang telah menggunakan klinik memori di Toronto. 

Bagi pasien yang menunjukkan tanda-tanda demensia, monolingual dalam sampel memiliki usia rata-rata 71,4 tahun. Sebaliknya, dua bahasa menerima diagnosis pada 75,5 tahun. 

Dalam studi semacam ini, perbedaan empat tahun sangat signifikan, dan tidak dapat dijelaskan oleh perbedaan sistematis lainnya antara kedua kelompok. Sebagai contoh, para monolingual melaporkan, rata-rata, satu setengah tahun lebih bersekolah daripada rekan dwibahasa, sehingga efeknya jelas bukan karena pendidikan formal. dikutip dari Time, Rabu (24/7).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement