REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTION — Studi baru di Amerika Serikat menemukan pindah rumah selama tiga bulan pertama kehamilan terkait dengan risiko kelahiran prematur yang lebih tinggi dan berat badan lahir rendah. Studi itu dilakukan oleh para peneliti di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Washington.
Mereka mengamati bayi yang lahir dari 28.011 ibu yang telah pindah rumah dalam tiga bulan pertama kehamilan. Sebagai pembanding, 112.367 ibu hamil yang tidak pindah rumah di trimester pertama juga dipantau.
Para peneliti memilih fokus pada trisemester pertama karena penelitian sebelumnya sudah mengenali stresor utama pada awal kehamilan. Situasi yang penuh tekanan itu misalnya, bencana alam, berkabung, atau kehilangan pekerjaan.
Kejadian tersebut memiliki dampak yang lebih besar pada kesehatan bayi daripada yang dialami selanjutnya dalam kehamilan. Temuan yang dipublikasikan secara daring dalam Journal of Epidemiology & Community Health itu menunjukkan wanita yang pindah rumah selama tiga bulan pertama kehamilan memiliki risiko 37 persen lebih tinggi memiliki bayi dengan berat badan lahir rendah, sembilan persen meningkatkan kelahiran bayi berukuran lebih kecil dari yang diperkirakan, dan 42 persen peningkatan risiko melahirkan prematur dibandingkan dengan mereka yang tidak pindah pada periode ini.
Seperti yang dilansir Malay Mail, Kamis (1/8), tim juga menemukan wanita yang pindah di awal kehamilan cenderung lebih muda, belum menikah, dan kurang berpendidikan. Mereka tinggal di daerah dengan tingkat pendapatan rumah tangga rata-rata lebih rendah, merokok selama kehamilan, dan memiliki anak-anak lain.
Meskipun faktor-faktor tersebut terkait dengan masalah kesehatan yang diselidiki peneliti, temuan ini tetap berlaku bahkan setelah memperhitungkan faktor-faktor risiko potensial, dengan perbedaan yang terlihat pada wanita secara keseluruhan dalam kelompok sosial dan ekonomi.
Alasan pindah rumah selama trisemester pertama dapat meningkatkan risiko ini masih belum jelas. Namun, para peneliti mengungkapkan ketegangan fisik bergerak, gangguan terhadap dukungan sosial dan akses ke perawatan kesehatan serta reaksi stres biologis mungkin berpengaruh.
Tim mencatat mereka tidak dapat membangun hubungan sebab-akibat, karena ini adalah penelitian observasional. Mereka menambahkan ada keterbatasan meskipun ukuran sampel yang besar menjadi kekuatan penelitian. Misalnya, tim tidak menentukan alasan untuk pindah atau tinggal di daerah lebih baik atau lebih buruk.
“Terlepas dari keterbatasan ini, kami menghasilkan wawasan penting tentang pindah rumah selama kehamilan. Terlepas dari dampak negatif karena stres pindah rumah, situasi stres yang mengarah pada pindah rumah, atau perawatan gangguan karena kepindahan rumah, ini menjadi momen bertanya pada pasien tentang rencana pindah rumah dan menggunakannya sebagai kesempatan menasehati pasien pada teknik mitigasi stres, dan kesinambungan perawatan mungkin bermanfaat,” ujar mereka menyimpulkan.