Sabtu 24 Aug 2019 16:31 WIB

Perubahan Iklim Picu Merkuri dalam Seafood Terus Meningkat

Merkuri terkonsentrasi ketika bergerak naik melalui rantai makanan.

Rep: Puti Almas/ Red: Dwi Murdaningsih
Ikan tuna, salah satu andalan ekspor hasil laut Indonesia.
Foto: http://www.ekobiz-parepare.com
Ikan tuna, salah satu andalan ekspor hasil laut Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON — Merkuri di dalam seafood atau makanan laut diperkirakan dapat terus meningkat seiring dengan perubahan iklim. Hal ini diungkapkan dalam penelitian terbaru yang diterbitkan beberapa waktu lalu di dalam jurnal Nature

Dalam studi tersebut, para peneliti melihat methylmercury, suatu bentuk merkuri beracun yang terkait dengan gangguan kognitif dan keterlambatan perkembangan pada anak-anak. Selama beberapa dekade terakhir, upaya untuk mengurangi jumlah merkuri yang mengalir ke laut dan masuk ke dalam sumber makanan yang berasal dari sana akibat manusia terus dilakukan. 

Baca Juga

Namun, peneliti melihat bahwa perubahan iklim dunia berpotensi membuat adanya neurotoxin yang akan menjadi masalah kesehatan bagi manusia. Saat memodelkan efek suhu pada methylmercury terhadap ikan, para menelii menggunakan data selama beberapa dekade tentang dua spesies yang biasa dikonsumsi, yakni dogfish berduri dan cod Atlantik, untuk membangun simulasi komputer.

Dari sana, ditemukan bahwa ketika suhu meningkat dari waktu ke waktu, maka demikian juga jumlah yang dimakan ikan. “Ketika ikan merasa hangat, maka mereka akan makan lebih banyak,” ujar pemimpin penelitia, Amina Schartup. 

Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan jumlah makanan ikan atau keinginan hewan air itu untuk makan lebih banyak. Namun, methylmercury, yang ditemukan di air laut, menjadi terkonsentrasi ketika bergerak naik melalui rantai makanan dari pengumpan filter dan plankton ke ikan yang lebih besar. 

Pada saat itulah, predator puncak seperti tuna sirip biru, neurotoksin dapat terakumulasi dalam jumlah yang dapat berdampak negatif bagi kesehatan manusia. Karenanya, saat ikan makan lebih banyak, itu mengartikan methylmercury juga masuk lebih banyak ke dalam rantai makanan. 

Ketika tim menerapkan simulasi mereka untuk tuna sirip biru Atlantik, mereka memiliki hasil yang sama. Dari model itu diprediksi pada awal 2030, merkuri dalam tuna dapat melonjak tinggi, jauh dibandingkan yang ditemukan pada 1970-an, sebelum peraturan polusi merkuri diberlakukan, tingkat yang jauh  melampaui batas merkuri yang direkomendasikan untuk makanan laut oleh Badan Perlindungan Lingkungan.

Model itu juga menunjukkan bahwa perubahan iklim dapat mempengaruhi merkuri dengan cara yang lebih halus. Selama 1970-an, Teluk Maine mengalami penurunan jumlah ikan herring, serta spiny dogfish. 

“Ini adalah studi penting, yang menunjukkan bagaimana kualitas makanan laut berhubungan erat dengan lautan yang sehat dan seimbang, serta perilaku manusia  secara langsung memengaruhi profil kontaminasi makanan laut,” ujar Anela Choy dari Scripps Institution of Oceanography. 

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa, di hadapan pemanasan global, peraturan saja tidak akan cukup untuk mengecilkan jumlah methylmercury dalam makanan laut. Terlebih, saat ini peraturan tentang industri batubara yang membatasi pelepasan merkuri dapat dibatalkan. Para peneliti menekankan bahwa kombinasi pendekatan akan diperlukan untuk mengatasi merkuri di lautan.

"Bahkan jika kita mempertahankan emisi merkuri pada tingkat yang konstan, kita akan melihat peningkatan kadar merkuri dalam tuna hanya karena suhu air laut," ujar Schartup.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement