REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil riset panjang yang dilakukan badan amal kesehatan Action on Smoking and Health (ASH) di Inggris menujukkan, dari 3,6 juta pengguna vape sebanyak 54,1 persen adalah mantan perokok yang mayoritas beralasan ingin berhenti merokok dengan vape. Namun, sebanyak 39,8 persen dari pengguna vape di Inggris masih merokok.
Kepala Eksekutif ASH Deborah Arnott mengatakan, penelitian ini dilakukan dalam rangka mengurangi jumlah rokok konvensional yang dihisap, dengan presentase sebanyak 21 persen. Rilis ini juga dikeluarkan terkait pemberitaan negatif soal korban penyalahgunaan vape di Amerika Serikat.
”Penyakit akibat pemakaian vape di AS jelas memprihatinkan. Tetapi tampaknya terkait dengan penyalahgunaan rokok elektrik dengan menggunakan obat terlarang, tidak ada yang seperti ini yang terlihat di Inggris sampai saat ini,” kata Arnott menurut siaran pers yang diterima di Jakarta, Kamis (26/9).
Arnott mengatakan, rokok elektrik di Inggris diatur dengan serangkaian peraturan oleh Medicines and Healthcare products Regulatory Agency (MHRA), yakni sejenis Badan POM di Inggris. MHRA yang memonitor dampak penggunaan vape.
Profesor Kecanduan Tembakau di King's College London, Ann McNeill menyebut, menggunakan vape sebetulnya tidak bebas risiko. Namun jauh lebih kecil risikonya dibandingkan merokok, yang terhitung membunuh hampir 100 ribu orang per tahun di Inggris.
Penulis buku 'Bukti independen rokok eletktrik untuk Kesehatan Masyarakat Inggris' itu juga mengatakan yang terpenting adalah bahwa semua vapers berhasil berhenti merokok sepenuhnya. "Karena jika tidak, mereka masih memaparkan diri pada risiko penyakit serius dan kecacatan yang disebabkan oleh merokok,” ujar dia.