REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bully atau perundungan yang dialami oleh Arthur Fleck atau Joker tidak jarang ditemukan juga pada beberapa kasus di Indonesia yang tersebar melalui pemberitaan di media. Realitasnya, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) seperti Joker pada dunia nyata lebih cenderung menjadi korban diskriminasi ketimbang melakukan kejahatan, seperti musuh Batman tersebut.
Kisah Arthur Fleck dalam film Joker digambarkan mengidap penyakit kejiwaan, yakni Skizofrenia dan Pseudobulbar Affect. Skizofrenia yang dialami Arthur Fleck membuatnya sering berhalusinasi dan tidak bisa membedakan antara kenyataan dengan fantasi. Penyakit ini juga yang membuat Arthur merasa bahwa dirinya tidak nyata, seperti dalam adegan saat ia bercerita kepada seorang psikiater.
Pseudobulbar Affect yang menyebabkan Joker sering tertawa tanpa sebab, bahkan ketika dirinya sedang sedih, gugup, ataupun ketakutan. Hal inilah yang membuatnya dianggap aneh oleh orang-orang di sekitar dan membuatnya jadi bahan perundungan.
Di luar dari penyakit kejiwaan yang diidapnya, Joker adalah seorang yang mengalami depresi berat karena mendapat banyak tekanan dalam hidup tanpa bisa mengelolanya dengan baik. Bila dirunut, tidak sedikit stresor yang dialaminya, seperti hidup miskin di apartemen kumuh sambil mengurus ibunya, dipecat dari pekerjaan menjadi seorang badut karena ulah rekan kerja, mendapat banyak perundungan oleh orang sekitar, dan mengetahui sebagai anak adopsi yang mendapat kekerasan dari ibu angkat penderita sakit jiwa.
Jika mendapat tekanan sebegitu banyak tanpa tertangani dengan baik, orang akan mengalami depresi berat dan memiliki kemungkinan melakukan percobaan bunuh diri. Psikiater dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr Heriani Sp.KJ(K) menyarankan agar seseorang yang mengalami tekanan melakukan sejumlah hal yang dapat dilakukan untuk menenangkan diri saat mendapatkan tekanan.
Joaquin Phoenix dalam film Joker.
Joker selalu berusaha tersenyum dan tertawa bahagia walau sesedih apapun keadaan yang dialami, sebagaimana yang selalu diajarkan oleh ibunya. Padahal, menurut psikiater sah-sah saja seseorang meluapkan emosi, seperti menangis ataupun marah.
"It's ok to feel. Kalau sedih ya menangis saja, tidak apa-apa, tapi jangan lama-lama," kata Heriani, belum lama ini.
Dia memberi tips untuk mengkomunikasikan perasaan baik melalui kata-kata pada orang lain, melalui kegiatan melukis, dan mendengarkan atau bermain musik yang mewakili perasaan. Bahkan, ketika merasakan amarah, secara psikologisseseorang diperbolehkan meluapkan perasaan marah kepada hal-hal yang tidak membahayakan, misalnya denganolahraga, bela diri, atau bernyanyi dan bermain musik rock.
Selepas emosi telah diluapkan, tenangkan diri beberapa saat lalu mulai berpikir secara rasional. Memiliki pikiran negatif terhadap sesuatu yang cenderung irasional akan membuat tidak nyaman dan merasa menderita.
Pandanglah sesuatu tanpa beropini dan bersikap menghakimi. Karena setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap sesuatu yang dilihatnya. Bisa jadi apa yang dinilai buruk oleh diri sendiri malah baik di mata orang lain.
Terimalah diri sendiri, bukan menerima masalah. Sementara untuk masalah harus diatasi atau diubah agar hal tersebut tidak menjadi penghalang lagi.
Berekreasilah untuk mencari kesenangan dan agar bisa melupakan masalah. Selain itujuga bisa merangsang hormon endorfin, dopamin, dan adrenalin dengan berolahraga yang akan menimbulkan perasaan senang dan bersemangat.
Bagi orang yang memiliki banyak masalah di hidupnya dan merasa paling buruk, Heriani menyarankan untuk mengikuti kegiatan sosial. Dengan menjadi relawan sosial, seperti tim penanggulangan bencana, akan membuat diri menjadi merasa lebih bersyukur atas kondisi yang sedang dialami, di mana terdapat orang lain yang memiliki masalah lebih besar.
Namun jika masalah masih terasa amat berat dan benar-benar membutuhkan bantuan, kunjungilah tenaga medis kejiwaan atau psikiater untuk mendapatkan penanganan yang lebih lanjut.