REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terdapat dua kubu yang memiliki perspektif berbeda tentang dampak mengonsumsi kedelai. Satu kubu menyatakan kedelai baik untuk kesehatan, sementara ada pula yang meyakini kedelai membahayakan bagi tubuh.
"Secara ilmiah, apabila kita konsumsi dengan benar, lebih banyak aspek manfaat daripada sesuatu yang kurang," kata pakar gizi Institut Pertanian Bogor (IPB), dr Rimbawan, pada acara Soyjoy Nutritionist Gathering 2019.
Keunggulan kedelai adalah aspek proteinnya. Studi membuktikan protein dalam kedelai adalah protein dari tanaman yang terbaik dibandingkan jenis tanaman lain. Salah satunya, karena kandungan zat isoflavon yang membantu menurunkan kolesterol.
Sementara itu, kubu yang menganggap kedelai berbahaya meyakini isoflavon dapat memicu kanker. Akan tetapi, menurut Rimbawan, efek membahayakan itu bukan dari pangan kedelai, melainkan suplemen berbahan isoflavon.
Rimbawan mengatakan, konsumsi kedelai dalam kondisi mentah memang menyebabkan efek tertentu. Jika dimakan mentah-mentah, kedelai mengandung zat-zat antigizi yang mengurangi penyerapan nutrisi dalam tubuh.
Karena itu, Rimbawan menyarankan masyarakat mengonsumsi kedelai yang sudah diolah terlebih dahulu. Lazimnya, masyarakat Indonesia melakukan fermentasi dan mengolah kedelai menjadi tempe atau tahu, juga sebagai bahan dasar kecap.
Pengolahan kedelai dengan tujuan menurunkan kolesterol, sebaiknya tanpa suhu tinggi dan mengurangi lemak. Artinya, kedelai sebaiknya tidak digoreng dengan minyak. Rimbawan menganjurkan pengolahan dengan cara mengukus.
"Untuk porsi, sampai dua sajian tidak ada masalah. Jumlah wajar dan secukupnya saja, tidak perlu memikirkan berapa gram. Manusia punya pembatas alami, ketika tubuh sudah merasa tidak nyaman pasti menghentikan konsumsi," kata dia.