REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada banyak alasan mengapa mi instan menjadi makanan yang dinikmati oleh banyak orang di seluruh dunia. Dengan harga yang murah, rasa yang nikmat, serta mengenyangkan, siapapun tak akan menolak untuk menjadikannya sebagai makanan sehari-hari.
Padahal makanan olahan siap saji yang mudah didapatkan di mana saja, mulai dari supermarket, hingga warung-warung dekat rumah itu tidak disarankan untuk sering dikonsumsi. Bahkan, laporan yang dilansir SCMP mengatakan bahwa makanan ultra-processed seperti mi instan menyebutkan bahwa ini terkait dengan terjadinya krisis kekurangan gizi di kalangan anak-anak dari keluarga miskin di dunia.
State of the World's Children 2019, sebuah laporan tahunan yang bulan lalu drills oleh United Nations Children’s Emergency Fund (Unicef) memperlihatkan gambaran menyedihkan bagi jutaan anak dan memperingatkan bahwa pola makan yang buruk sekarang menjadi faktor risiko utama penyakit. Selain itu, juga disebutkan setidaknya satu dari tiga dari hampir 700 juta anak di dunia berusia di bawah lima tahun kekurangan gizi atau kelebihan berat badan, sementara setengahnya menderita kelaparan, yang disebabkan oleh makanan yang murah dan mengeyangkan, namun tidak memiliki vitamin esensial dan nutrisi mikro.
Laporan itu juga menemukan bahwa 149 juta anak-anak terhambat pertumbuhannya, atau terlalu pendek untuk usia mereka. Sementara 50 juta anak-anak berada dalam kondisi wasting atau terbuang, suatu bentuk kekurangan gizi yang ekstrem, ketika seorang anak terlalu kurus untuk tinggi badan mereka.
Lebih lanjut, laporan menyebutkan hampir 45 persen anak-anak di seluruh dunia yang berusia antara enam bulan dan dua tahun tidak diberi makan buah atau sayuran. Kemudian hampir 60 persen tidak makan telur, susu, ikan, atau daging, yang sangat dibutuhkan untuk tumbuh kembang mereka. Salah satu faktor yang menyebabkan ini adalah perpindahan penduduk dari pedesaan ke kota untuk mencari pekerjaan.
“Sayangnya, seperti yang ditunjukkan dalam laporan ini, terlalu banyak anak dan remaja tidak mendapatkan makanan yang dibutuhkan dan merongrong kemampuan mereka untuk tumbuh, berkembang, dan belajar,” ujar Direktur Eksekutif Unicef Henrietta Fore.
Fore menekakan bahwa jika anak-anak makan dengan buruk, maka mereka dipastikan akan hidup dengan buruk. Makanan ultra-processed telah menjadi pilihan sehari-hari bagi orang-orang dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah, karena mereka harus mencari pilihan makanan yang murah dan mudah.
“Mi instan adalah apa yang saya sebut makanan kosong kalori. Ini memiliki umur simpan yang panjang, tapi memberi sedikit manfaat gizi, atau bahkan tidak sama sekali,” ujar Michelle Lau, ahli makanan dan pendiri Nutrilicious, sebuah perusahaan konsultasi nutrisi dan komunikasi yang berbasis di Hong Kong, China.
Laporan Unicef menunjukkan negara-negara seperti Filipina, Indonesia dan Malaysia memiliki jumlah anak-anak yang mengonsumsi makanan instan karena orang tua yang sibuk dan tidak memiliki waktu untuk menyiapkan makanan sehat. Di tiga negara ini ditemukan sekitar 40 persen anak-anak berusia lima tahun yang kekurangan gizi.
Fore mengatakan nutrisi dari makanan membuat anak-anak mendapatkan kesempatan yang baik dalam hidup mereka. Karenanya, tidak hanya tentang membuat mereka kenyang, namun memberi makan-makanan yang tepat menjadi tantangan dari para orang tua saat ini.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa merekomendasikan agar total lemak dan asupan lemak jenuh masing-masing tidak boleh lebih dari 30 persen dan 10 persen dari asupan energi harian. Berdasarkan diet harian 2.000 kalori, batas atas asupan harian total lemak dan lemak jenuh masing-masing sekitar 60 gram dan 20 gram.
Bagi para orang tua yang ingin menghentikan kebiasaan mengkonsumsi mi instan, terdapat alternatif yang lebih sehat seperti mi soba. Terlebih, ini sangat ideal untuk anak-anak yang memiliki alergi gluten.