Kamis 14 Nov 2019 17:42 WIB

Antibiotik Masih Dianggap Obat Dewa

Antibiotik masih dianggap sebagai obat dewa, obat yang bisa percepat kesembuhan.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Reiny Dwinanda
Antibiotik (ilustrasi)
Foto: voa
Antibiotik (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Resistensi antimikroba atau antimicrobial resistance (AMR) telah dinyatakan sebagai salah satu permasalahan kesehatan paling mengancam populasi dunia. Tanpa pengendalian global, pada 2050 diperkirakan AMR menjadi pembunuh nomor satu di dunia dengan angka kematian mencapai 10 juta jiwa.

Pendiri dan dewan penasihat Yayasan Orang Tua Peduli (YOP), dr Purnawati Sujud SpA(K) MMPed menjelaskan, penyalahgunaan antibiotik atau penggunaan antibiotik yang kurang bijak menjadi penyebab utama AMR. Untuk menangkal terjadinya AMR, semua pihak mulai dari pasien, farmasi, dan dokter dianjurkan untuk lebih bijak dalam pemanfaatan antibiotik.

Purnamawati menjelaskan bahwa setiap kali orang minum antibiotik, beberapa bakteri akan mati, namun beberapa bakteri lain akan tetap bertahan dan bermutasi menjadi kebal terhadap antibiotik. Bakteri yang bertahan ini akan berkembang biak dan melipatgandakan diri. Penggunaan antibiotik yang berulang akan meningkatkan potensi AMR.

Resistensi antibiotik, menurut Purnamawati, adalah masalah serius yang telah dan sedang dihadapi seluruh dunia. Ironisnya, sampai sekarang masih banyak masyarakat yang menjadikan antibiotik itu sebagai obat dewa, yang jika tidak diminum saat sakit sembuhnya bisa lama.

"Padahal, ini kan salah,” kata Purnawati dalam seminar Pekan Kesadaran Penggunaan Antibiotik Sedunia di Senayan, Jakarta Selatan, Kamis (14/11).

Purnawati mengungkapkan, antibiotik merupakan sumber daya yang tidak terbarukan. Saat ini, persediaannya sudah menipis.

"Sudah makin banyak bakteri yang menjadi kebal tidak lagi mempan dengan antibiotik yang tersedia," ujar dokter spesialis anak yang akrab disapa dr Wati ini.

Jika akses terhadap antibiotik sudah tidak ada lagi, maka beban penyakit infeksi akan semakin berat untuk ditanggung. Layanan kesehatan pun akan menjadi sangat mahal dengan hasil yang tidak efektif.

“Kita semua perlu bertindak mengendalikan penggunaan antibiotik di semua sektor agar tidak kehilangan akses terhadap antibiotik dan tidak kembali ke era sebelum antibiotik ditemukan, ketika infeksi bakteri dan penyakit ringan tidak bisa lagi ditangani dan dapat berujung pada kematian,” kata dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement