Sabtu 23 Nov 2019 18:32 WIB

Pola Olahraga Berat Pria dan Perempuan Harus Dibedakan

Olahraga berat dibedakan karena perbedaan siklus menstruasi dan risiko cidera lutut

Rep: Febryan A/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
 Peragawan memeragakan spinning di arena kebugaran Fitness First cabang Kemang Village, Jakarta Selatan, Senin (12/6).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Peragawan memeragakan spinning di arena kebugaran Fitness First cabang Kemang Village, Jakarta Selatan, Senin (12/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Olahraga berat untuk pria dan wanita harus dibedakan. Sebab, terdapat perbedaan fisiologis antara pria dan wanita.Hal ini kerap belum diketahui banyak orang.

"Olahraga berat tidak bisa menggunakan satu standar yang sama untuk semua. Berbeda dengan olahraga berenang, lari, dan bersepeda, olahraga berat harus memiliki pendekatan khusus," kata Menachem Brodie dari Human Vortex Training sebagaima dikutip triathlete.com, Sabtu (23/11).

Hal ini, kata Brodie, penting ditekankan sebelum wanita memulai olahraga beratnya untuk membentuk fisik di tempat fitnes. Sebab, masih banyak buku dan artikel tentang olahraga berat dibuat dengan asumsi bahwa pembacanya adalah pria.

Penelitian lebih lanjut, kata Brodie, hanya sedikit yang menyatakan fisiologis pria dan wanita itu sama. Dengan demikian, olahraga yang dilakukan wanita menang tidak bisa disamakan dengan para pria.

Brodie menjelaskan, hormon pria cenderung stabil dari hari ke hari. Sedangkan hormon wanita sangat fluktuatif mengikuti siklus menstruasi.

Pada 14 hari pertama menstruasi atau disebut fase folikuler, respon tubuh wanita atas olahraga berat hampir sama dengan pria. Tetapi pada 14 hari terakhir atau fase luteal, tubuh wanita memasuki hormon tinggi, lebih katabolik.

"Ini berarti bahwa selama fase luteal harus ada perubahan pola latihan. Terutama jika ingin olahraga secara berkelanjutan," ucapnya.

Penelitian menunjukkan bahwa periodisasi pelatihan yang dibuat sejalan dengan siklus menstruasi akan memberikan hasil terbaik. Brodie merekomendasikan penskalaan kembali sesi kekuatan selama fase luteal, yakni dengan menjadikan latihan hanya setengah dari yang biasa dilakukan pada fase folikuler. Jika biasanya empat hari olahraga berat dalam seminggu, maka jadikan hanya dua hari saja.

Studi lainnya, lanjut Brodie, juga menemukan bahwa wanita dalam fase luteal membutuhkan nutrisi lebih banyak. Sebab tubuh dalam keadaan katabolik tinggi, maka seusai latihan intens harus diikuti dengan makanan yang mengandung 40 gram protein campuran. Konsumsilah 30 setelah melakukan berolahraga.

Tak hanya perbedaan stabilitas hormon, wanita juga berpotensi 10 kali lebih besar cidera ACL alias cidera lutut dibandingkan pria. Sebab titik pertemuan paha dan lutut wanita lebih kecil dibandingkan pria.

Wanita juga lebih cenderung mengalami 'knock-knee', sebuah kondisi dimana kedua lutut menekuk ke dalam dan hampir bersentuhan ketika melangakah.

Karena itu, jelas dia, sangat penting bagi wanita untuk membangun kekuatan pinggul dan otot perut. Yakni dengan cara melakukan pemanasan seperti prone glute activation, chin-tuck head lift, dynamic side planks, figure-4 hip lifts, half clamshells, dan bird-dog progressions. 

Brodie juga mengingatkan bagi wanita yang baru melahirkan agar memastikan kondisi tubuh. Masalah pascakehamilan seperti gangguan dasar panggul dan diastastis (pemisahan otot-otot perut) dapat menyebabkan sejumlah gejala yang tidak menyenangkan dan tidak nyaman bagi wanita.

“Jika Anda mengalami diastasis berarti Anda belum sepenuhnya pulih, cari spesialis olahraga korektif pascapersalinan atau terapis fisik dasar panggul untuk membantu Anda mengatasi masalah yang sangat penting itu. Tak hanya penting untuk Anda bisa berolahraga berat lagi, tapi juga untuk kesehatan Anda dalam jangka panjang," papar Brodie.

Dengan semua perbedaan itu dan juga berbedanya pola latihan wanita, maka wanita tidak perlu berharap hasil yang dipatkan akan sama dengan pria. "Karena perbedaan hormon, jauh lebih sulit bagi wanita untuk berotot daripada rekan-rekan pria mereka," kata Brodie.

Meski demikian, Brodie juga menduga sulitnya wanita berotot lantaran pola pikir. Di mana ada anggapan bahwa wanita tak seharusnya angkat beban berat di ruang fitnes atau mereka akan terlihat terlalu jantan. 

Keyakinan semacam itu mencegah wanita mendapatkan pola tubuh yang ditargetkan. Padahal angkat beban juga bisa dilakukan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement