Jumat 29 Nov 2019 03:02 WIB

Peneliti Imbau Masyarakat Waspadai Makanan Olahan

Kebiasaan konsumsi makanan olahan sebaiknya diganti buah dan sayuran.

Rep: Erdy Nasrul/ Red: Indira Rezkisari
Makanan olahan
Foto: flickr
Makanan olahan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Makanan yang diolah berlebihan dijual dengan harga lebih murah dan mudah dibeli. Dengan mengonsumsi makanan tersebut, tubuh mendapatkan asupan gizi sehingga dapat bertahan sampai mengonsumsi makanan berikutnya.

Pakar kesehatan namun menemukan bahwa makanan ini tidak bagus untuk membuat pengkonsumsinya kenyang, atau berumur panjang. Studi baru-baru ini yang dilakukan oleh peneliti pusat pengendalian penyakit (Centers for Disease Control/CDC) menyarankan bahwa banyak warga Amerika bergantung pada makanan siap saji untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari.

Baca Juga

Setelah lama mengonsumsi makanan tersebut, kondisi kesehatan mereka menurun dan mengakibatkan gangguan jantung. Hal tersebut merupakan temuan bahwa semakin banyak pabrik menghasilkan makanan olahan, seperti wafer atau biskuit granola yang bertahan berbulan-bulan, pasta ravioli yang dikemas dalam kaleng, dan minuman ringan yang mengandung banyak sirup jagung fruktosa, maka fungsi jantung manusia semakin melemah.

“Makanan-makanan ini dirancang untuk berasa nikmat,” ujar penulis penelitian tersebut Dr Zefeng Zhang, pengkaji epidemologi CDC, kepada kantor berita Insider, Jumat (29/11). Namun, cita rasa demikian berasal dari biaya yang tak diketahui. Makanan olahan bukan hanya rendah gizi, tapi juga membuat orang terpacu untuk terus mengonsumsinya meskipun sudah kenyang.

Hal ini disebabkan makanan tersebut telah kehilangan cita rasa alaminya. Juga dibuat untuk cepat dan mudah dimakan.

“Makanan olahan biasanya kurang serat,” kata Zhang. Ini berarti orang-orang tidak mendapatkan rasa kenyang yang sama dengan mengonsumsi makanan yang dihidangkan di rumah.

Zhang dan koleganya menemukan jumlah besar orang-orang bergantung kepada makanan olahan sebagai tanda terima kasih. Penelitian ini mengandalkan survei nutrisi dan kesehatan nasional yang dilakukan setiap tahun oleh CDC. Dalam pengerjaannya, peneliti menyampaikan beberapa pertanyaan kepada responden tentang apa yang mereka konsumsi. Juga melihat kondisi kesehatan fisik mereka.

Untuk studi ini, Zhang dan timnya yang terdiri dari lima orang peneliti mengambil sample sebanyak 13.400 orang yang tersebar di Amerika Serikat pada periode 2011 hingga 2016. Tak hanya kepada warga yang berasal dari kelas menengah-atas, peneliti juga menyampaikan pertanyaan kepada masyarakat yang berpendapatan rendah beserta orang lanjut usia.

Bahkan kelompok yang kedua ini lebih jumlahnya lebih banyak. Pertanyaan yang disampaikan ke mereka juga lebih mendalam. Ada sekitar 25 persen responden penelitian ini berusia lebih dari 60 tahun.

Temuan dari penelitian tersebut, bahwa orang-orang dari berbagai daerah di Amerika Serikat bergantung pada makanan olahan untuk bertahan hidup. lebih dari 55 persen kebutuhan kalori harian mereka didapatkan dari makanan olahan.

Kerja tim peneliti ini menyarankan bahwa jantung orang-orang seharusnya tidak beroperasi berdasarkan asupan gizi dari makanan seperti itu. Sebab setiap lima persen makanan olahan dikonsumsi, berimbas kepada 13 poin penurunan kondisi kesehatan jantung. Artinya, takaran makanan olahan yang mereka konsumsi akan berdampak dan menjadi masalah bagi kesehatan jantung.

Zhang menyarankan kebiasaan mengonsumsi makanan olahan sebaiknya diganti dengan buah dan sayuran. Sebab mengandung serat yang tinggi dan jelas dibutuhkan oleh tubuh.

Peneliti masih belum mengetahui secara tepat mengapa makanan olahan sangat buruk untuk kesehatan. Tapi yang jelas terlihat, dari penelitian Zhang dan riset lainnya, bahwa orang yang mengonsumsi makanan olahan cenderung berpenyakit jantung, mati lebih cepat, mengidap kanker, dan berat badannya bertambah.

Penelitian yang berbeda

Namun demikian, makanan olahan memiliki banyak manfaat. Peneliti gizi dari Institut Kesehatan Nasional Amerika Serikat (US National Institute of Health), Kevin Hall, menjelaskan hasil studinya yang mengejutkan.

Riset itu berakhir dengan imbauan bahwa orang-orang yang bergantung pada makanan olahan menyerak 500 kalori setiap hari. “Ini murah. Mudah didapat. Kamu tidak harus memiliki bumbu segar di tangan, yang dapat busuk. Kamu tak harus memiliki alat-alat untuk menyiapkan makanan ini,” ujarnya.

Makanan olahan cenderung dibuat dengan lima bumbu. Ilmuwan biasanya mendefinisikan makanan olahan sebagai rumusan industri dengan lima atau biasanya banyak bumbu. Bahan baku seperti sayuran, kacang-kacangan, daging, keju, dan produk lainnya adalah contoh makanan bukan olahan.

Kalau dibuat menjadi makanan olahan, maka bahan-bahan tadi diolah, dan dibuat menjadi makanan yang murah. Makanan olahan biasanya mengandung gula, sodium, dan lemak jenuh, juga tambahan zat kimia.

Makanan ini biasanya berbentuk lebih tebal, berwarna, dan berlapis. Makanan tersebut disiapkan untuk dimasak lebih lanjut sebelum dikemas. Contoh makanan seperti ini adalah wafer atau buskuit granola, minuman ringan bersoda, permen, roti, margarin, minuman penambah energi, yogurt aneka rasa, ayam nugget, dan hot dog.

Bagaimana pun, penelitian yang menyatakan mengonsumsi makanan olahan berdampak buruk pada kesehatan, tidak menjelaskan, makanan olahan apa yang dimaksud. Ini juga menjadi catatan untuk diketahui bahwa riset seperti ini seharusnya mengklasifikasikan tingkatan kualitas berbagai makanan olahan. Namun dari penelitian yang ada, makanan olahan tidak termasuk kategori yang terbaik.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement