REPUBLIKA.CO.ID, AMSTERDAM — Sebagai pelengkap mammogram, MRI terhadap perempuan dengan kondisi payudara yang padat memang sedikit dapat membantu mendeteksi kanker. Namun, penelitian dalam skala besar menunjukkan bahwa tindakan tersebut juga telah membuat perempuan salah didiagnosis kanker payudara.
Kenyataan itu pun menyisakan pertanyaan besar, apakah MRI bisa menjadi solusi untuk menyelamatkan nyawa seseorang? Sampai sekarang, ini masih menjadi dilema bagi perempuan dengan kondisi payudara padat ketika mempertimbangkan untuk menjalani skrining.
Hal ini diungkapkan oleh dr Dan Longo, seorang dokter dari New England Journal of Medicine dalam tajuk rencana yang diterbitkan bersama dengan penelitian tersebut. Menurut penelitian, setengah dari perempuan berusia di atas 40 tahun memiliki payudara yang padat dan sekitar 10 persen lainnya payudaranya sangat padat.
Kondisi ini meningkatkan risiko kanker. Padatnya payudara juga membuat sulit untuk mendeteksi kanker hanya dengan melakukan mammogram.
Badan kesehatan di Amerika Serikat (AS) selama ini memiliki peraturan agar perempuan mendapatkan informasi mengenai kondisi payudara padat melalui mammogram. Namun, belum diketahui saran yang paling tepat untuk tindakan selanjutnya bagi pemilik payudara padat untuk skrining kanker, entah MRI atau ultrasound yang bisa lebih membantu mendeteksi kondisi tersebut.
Penelitian yang dilakukan dalam studi terbaru ini melibatkan lebih dari 40 ribu perempuan di Belanda yang berusia 50 hingga 75 tahun dengan kondisi payudara ekstra padat dan hasil mammogramnya menunjukkan kondisinya normal. Skrining dengan rontgenjuga dilakukan setiap dua tahun sekali dan sekitar 8.000 dari mereka ditawarkan pemindaian dengan MRI.
Setidaknya 4.783 dari para perempuan di Belanda setuju untuk menjalani skrining. Para peneliti kemudian melacak berapa banyak kanker payudara yang terdeteksi pada tiap kelompok dalam dua tahun.
Hasilnya, ternyata lebih banyak kanker interval yang ditemukan. Ini berarti pemeriksaan awal telah luput mendeteksinya.
Tingkat kanker ini setelah dua tahun dua kali lebih tinggi pada kelompok yang hanya ditawari mammogram. Ini menunjukkan bahwa menambahkan MRI ke skrining awal memang lebih dapat mendeteksi kanker, namun sekaligus memberi lebih banyak peringatan palsu.
Tiga perempat wanita yang melakukan biopsi setelah MRI juga ditemukan ternyata tidak memiliki kanker. MRI juga menyebabkan lebih banyak efek samping selama pemindaian atau pengujian selanjutnya. Di samping itu, pemeriksaan dengan metode ini memiliki biaya jauh lebih besar dibandingkan mammogram.
“Dilema kami adalah sebagian besar tumor, tidak dapat dibedakan antara apakah itu kanker yang mengancam nyawa atau tidak,” tulis Longo dalam penelitian ini.
Studi yang dilakukan melihat pemeriksaan dua tahun pertama dengan MRI. Longo menyatakan, masih sulit untuk mengatakan apakah tes dengan MRI akan dapat lebih efektif menyelamatkan nyawa seseorang.