Sabtu 28 Dec 2019 10:04 WIB

Waspadai Risiko Kekurangan B12 pada Tren Veganuary

Veganuary adalah tren menjalankan diet vegan pada Januari

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Christiyaningsih
Veganuary adalah tren menjalankan diet vegan pada Januari. Ilustrasi.
Foto: Pixabay
Veganuary adalah tren menjalankan diet vegan pada Januari. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tahun baru biasanya turut diramaikan gerakan Veganuary yang mendorong orang-orang untuk mencoba diet vegan pada Januari. Jika tertarik untuk ikut mencoba diet vegan di awal tahun depan, ada baiknya Anda mengetahui salah satu risiko yang perlu diantisipasi dari penerapan diet ini.

Diet vegan merupakan sebuah pengaturan pola makan yang tidak melibatkan berbagai bentuk pangan hewani beserta turunannya. Diet vegan dikenal sebagai diet yang kaya akan serat dan rendah kolesterol.

Baca Juga

Namun karena tidak melibatkan pangan hewani, ada beberapa zat gizi yang sulit untuk didapatkan dari diet vegan. Salah satunya adalah vitamin B12.

Vitamin B12 merupakan zat gizi yang berfungsi untuk membantu menjaga kesehatan saraf dan sel-sel darah di dalam tubuh. Vitamin B12 juga berperan dalam pembentukan DNA dan dapat mencegah terjadinya anemia jenis megaloblastik.

Dalam satu hari, orang dewasa membutuhkan asupan vitamin B12 sebanyak 1,5 mikrogram. Vitamin ini bisa ditemukan pada pangan hewani seperti daging, ikan, telur, dan produk susu.

Vitamin B12 tidak terdapat pada buah, sayur, atau biji-bijian yang menjadi kunci dari diet vegan. Karena itu, orang-orang yang menjalani diet vegan cukup berisiko terhadap kekurangan atau defisiensi vitamin B12.

Defisiensi vitamin B12 dapat menyebabkan kerusakan saraf. Kerusakan saraf biasanya baru akan memunculkan gejala setelah tiga atau empat tahun. Salah satu gejala yang mungkin terjadi adalah rasa kesemutan atau tertusuk jarum pada tangan atau kaki.

Namun, bukan berarti orang-orang tidak boleh menerapkan diet vegan dan berpartisipasi dalam gerakan Veganuary. Risiko defisiensi vitamin B12 bisa dicegah dengan beragam cara. Beberapa di antaranya adalah mengonsumsi makanan vegan yang terfortifikasi dengan vitamin B12 atau mengonsumsi suplemen.

"Apabila seorang vegan tidak peduli untuk mencari tahu apa yang perlu dimakan sebagai seorang vegan, saya khawatir mereka tidak tahu mengenai B12," jelas praktisi diet vegan Profesor Tim Key dari Oxford University yang rutin mengonsumsi suplemen vitamin B12 dilansir BBC.

Key mengatakan banyak seruan di media sosial yang menyatakan bahwa praktisi vegan tidak membutuhkan tambahan B12. Key mengatakan informasi tersebut tidak didasari oleh bukti ilmiah sehingga sebaiknya tidak diikuti.

"Saya khawatir banyak orang berpikir bahwa defisiensi B12 adalah sebuah mitos," ujar profesor di bidang nutrisi dan diet ini.

Key mencontohkan ada sebuah kasus di mana ibu menyusui menderita defisiensi B12. Bayi dari ibu tersebut mengalami neuropati yakni gangguan saraf yang dapat menyebabkan kerusakan jangka panjang.

Key mengatakan defisiensi B12 merupakan sebuah kondisi yang bisa dihindari dengan mudah. Akan tetapi, orang-orang yang baru mencoba diet vegan mungkin tidak paham mengenai pentingnya kombinasi dalam pola makan dan pentingnya kecukupan asupan vitamin B12.

Ahli gizi dari Vegan Society Heather Russell menekankan perencanaan makan yang baik merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Russell menyarankan agar praktisi vegan selalu mengonsumsi makanan dari kelompok makanan yang beragam secara seimbang dan memahami pentingnya makanan terfortifikasi dan suplemen.

"Sebagai contoh, praktisi vegan mendapatkan vitamin B12 dari makanan terfortifikasi atau suplementasi, dan panduannya tersedia di laman Vegan Society," tutur Russell.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement