Selasa 31 Dec 2019 11:51 WIB

Peneliti: Sepertiga Pasien Parkinson Alami Salah Diagnosis

Seperempat pasien Parkinson awalnya didiagnosis dengan penyakit yang berbeda

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Penyakit parkinson
Foto: care2
Penyakit parkinson

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Sebuah penelitian menunjukkan bahwa satu dari empat orang yang hidup dengan Parkinson, awalnya mengalami salah diagnosis. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Parkinson UK, sebanyak 2.000 orang menjadi responden survei. Peneliti menanyai tentang diagnosis kondisi neurologis, gejalanya dapat berupa goncangan tak disengaja, gerakan lambat, dan otot kaku.

Sekitar 145 ribu orang didiagnosis mengidap Parkinson setiap tahun. Menurut jajak pendapat, 26 persen responden mengatakan mereka pada awalnya didignosis dengan kondisi medis yang berbeda.

Dilansir di Independent.co.uk pada Senin (30/12), dari peserta yang menerima kesalahan diagnosis, hampir setengahnya dirawat karena kondisi salah diagnosis. Perinciannya, sebanyak 36 persen menerima obat, 6 persen menjalani operasi atau prosedur, dan 6 persen menjalani keduanya. Lebih dari sepertiga responden mengatakan mereka mengunjungi dokter setidaknya tiga kali, sebelum dirujuk ke spesialis Parkinson.

Jajak pendapat juga menyimpulkan bahwa perempuan lebih mungkin mengalami salah diagnosis daripada pria. Selain itu, kesalahan diagnosis memiliki kemungkinan lebih besar terjadi pada pasien berusia 51 tahun dan 60 tahun.

Manajer program keterlibatan profesional di Parkinson UK, Katie Goates menjelaskan bahwa Parkinson adalah kondisi yang sangat kompleks dengan lebih dari 40 gejala yang mempengaruhi semua orang secara berbeda. “Salah satu tantangan terbesar untuk penelitian Parkinson adalah bahwa tidak ada tes definitif untuk Parkinson, dan sebagai hasilnya, kami mendengar bahwa orang salah didiagnosis mulai dari bahu membeku atau kecemasan hingga stroke,” kata Goates.

Dia mengatakan survei tersebut menjadi kunci vital untuk menemukan tes diagnostik yang sangat dibutuhkan. Kendati demikian, peneliti mengakui bahwa peran kunci yang dimiliki profesional kesehatan dalam membantu orang-orang dengan Parkinson mendapatkan diagnosis dan perawatan yang tepat merupakan hal paling utama.

Katy Dickinson didiagnosis mengidap penyakit itu pada Mei 2018, ketika berusia 27 tahun. Dia menceritakan kerap mengalami tremor, tetapi sekitar empat tahun yang lalu kondisinya semakin memburuk.

“Saya juga memperhatikan bahwa kaki kiri saya terseret dan suara saya mulai terpengaruh. Saya pergi ke dokter, tetapi tidak ada tang bisa mengerti apa yang salah dengan saya,” ujar dia.

Butuh empat tahun baginya mengetahui kondisi sebenernya. Awalnya, Dickinson didiagnosis menderita kelainan neurologis fungsional. “Sungguh melegakan akhirnya bisa dipercaya setelah bertahun-tahun,” ujar dia.

Meskipun tak ada obat untuk penyakit Parkinson, tetapi sudah ada perawatan yang tersedia, seperti obat-obatan, fisioterapi, dan terapi okupasi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement