REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kanker paru merupakan jenis kanker yang cukup sulit untuk ditegakkan diagnosisnya. Tak jarang, kanker paru salah terdiagnosis sebagai tuberkulosis (TB) sehingga terjadi keterlambatan pemberian terapi.
Hal ini pula yang pernah dialami oleh salah satu anggota keluarga dari Executive Director Asia Pacific Medical Affairs MSD dr Aileen Dualan. Perempuan asal Filipina ini mengungkapkan bahwa sekitar 14 tahun lalu ia harus kehilangan seorang tante karena kanker paru.
"Dia bukan perokok, berusia 55 tahun, meninggal karena kanker paru," ungkap Aileen dalam peringatan Hari Kanker Sedunia 2020 bersama Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Pusat dan Merck Sharp and Dohme (MSD), di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Mulanya, menurut Alieen, sang tante salah terdiagnosis dengan TB paru. Berdasarkan diagnosis awal ini, sang tante mendapatkan terapi obat-obatan anti TB selama enam bulan.
Selama kurun waktu tersebut, tantenya Alieen tak menampakkan respons yang positif terhadap pengobatan. Berat badannya pun terus turun dan keluhan batuk terus berlanjut.
Setelah terapi anti-TB tampak tidak berhasil, sang tante kembali menjalani pemeriksaan. Pemeriksaan kedua ini baru berhasil menemukan bahwa biang keladinya ialah kanker paru.
"(Dengan fasilitas yang bagus) dokter masih bisa salah mendiagnosis, bayangkan bagaimana di wilayah-wilayah yang tidak memiliki akses (memadai)," ujar Aileen.
Dr Elisna Syahruddin PhD SpP(K-Onk) mengungkapkan bahwa menegakkan diagnosis kanker paru memang tidak semudah kanker kulit atau nasofaring. Terlebih, beragam masalah paru memiliki keluhan yang mirip.
"Gejala penyakit paru itu, apapun sakitnya, keluhannya hampir sama," tutur dokter spesialis paru ini.
Di samping itu, Elisna mengatakan, Indonesia merupakan negara endemik TB paru. Oleh karena itu, ketika ada pasien berusia muda yang datang dengan keluhan masalah paru, dokter tidak akan langsung memperkirakan kemungkinan kanker paru karena masih ada penyakit lain yang kemungkinannya lebih besar.
"Dokter diwajibkan membuat diagnosis pembanding," kata Elisna.
Contohnya, ketika mendiagnosis pasien berusia muda dengan TB paru, dokter memiliki kesempatan untuk mengobati pasien tersebut dengan obat-obatan anti-TB terlebih dahulu. Akan tetapi, dokter perlu memiliki batasan yang jelas untuk melihat perkembangan atau respons pasien terhadap pengobatan.
"Jangan menunggu enam bulan, baru berpikir ke arah kanker paru," jelas Elisna.
Dokter, menurut Elisna, juga perlu mempertimbangkan faktor-faktor risiko yang dimiliki oleh pasien. Bila pasien memiliki faktor risiko terhadap kanker paru, maka kemungkinan diagnosis ke arah kanker paru juga harus dipertimbangkan.
"Sebaliknya, kalau pasien berusia tua, jangan pikirkan ke arah TB, apalagi kalau dia perokok dan punya faktor risiko (kanker paru)," kata Elisna.
Senada dengan Elisna, dr Sita Laksmi Andarini PhD SpP(K) mengungkapkan bahwa kanker paru tidak memiliki gejala yang khas. Selain itu, kanker paru umumnya baru menunjukkan gejala ketika kondisi penyakit sudah cukup berat.
Bila pasien mengalami keluhan batuk yang terus menerus, contohnya, dokter mungkin akan memperkirakan diagnosis ke arah TB paru. Namun, dokter sebaiknya memantau perkembangan pasien, terlebih jika pemeriksaan dahak pasien menunjukkan hasil negatif terhadap TB paru.
"Kami sudah titipkan pesan ke dokter di layanan primer, kalau negatif, maka observasi tidak boleh terlalu lama. Kalau dahaknya negatif, bukan TB. Kalau (keluhan) masih berlanjut, segera dirujuk," ungkap Sita.