REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada tanggal 31 Desember 2019, di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China dilaporkan adanya kasus-kasus pneumonia berat yang belum diketahui etiologinya. Awalnya, ada 27 kasus kemudian meningkat menjadi 59 kasus dengan korban berusia antara 12 sampai 59 tahun.
Kini, penyakit yang disebabkan oleh virus corona tipe baru itu telah merenggut 636 nyawa dan menginfeksi 28.985 orang. Virus tersebut menyebar ke 26 negara dengan kasus terbanyak di China.
Apa sebenarnya pneumonia Wuhan itu? Apa bedanya dengan pneumonia pada umumnya?
Ketua Umum Pokja Infeksi PP Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Dr dr Erlina Burhan MSc Sp.P(K) menjelaskan, pneumonia adalah infeksi atau peradangan akut di jaringan paru yang disebabkan oleh berbagai mikroorganisme, seperti bakteri, virus, parasit, jamur, pajanan bahan kimia, atau kerusakan fisik paru. Penyakit ini dapat menyerang siapa aja, muali dari anak-anak, remaja, dewasa muda dan lanjut usia, namun kasusnya lebih banyak pada balita dan lanjut usia.
"Peradangan ini menyebabkan gangguan pada sistem sekresi. Gejala ringan seperti batuk, demam bisa muncul. Bahkan sampai gejala berat sesak napas, bahkan kegagalan pernapasan," ujarnya di Jakarta beberapa waktu lalu.
Angka kejadian pneumonia lebih sering terjadi di negara berkembang. Pneumonia menyerang sekitar 450 juta orang setiap tahunnya. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi pneumonia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan, yaitu sekitar 2 persen sedangkan tahun 2013 adalah 1,8 persen.
"Memang menurut data epidemologi kasus ini cukup banyak satu sampai dua persen menimbulkan kematian," kata Erlina.
Berdasarkan data Kemenkes 2014, jumlah penderita pneumonia di Indonesia pada tahun 2013 berkisar antara 23 persen sampai 27 persen dan kematian akibat pneumonia sebesar 1,19 persen. Tahun 2010 di Indonesia pneumonia termasuk dalam 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit dengan angka kematian penyakit tertentu pada periode waktu tertentu dibagi jumlah kasus adalah 7,6 persen.
Menurut profil kesehatan Indonesia, pneumonia menyebabkan 15 persen kematian balita, yaitu sekitar 922.000 jiwa pada 2015. Dari tahun 2015 sampai 2018 kasus pneumonia yang terkonfimasi pada anak-anak dibawah 5 tahun meningkat sekitar 500 ribu per tahun, tercatat mencapai 505.331 pasien dengan 425 pasien meninggal.
Dinas Kesehatan DKI Jakarta memperkirakan 43.309 kasus pneumonia atau radang paru pada balita selama tahun 2019. Ditinjau dari sumber infeksinya, pneumonia dibagi menjadi tiga yaitu pneumonia komunitas, hospital acquired pneumonia, dan pneumonia akibat penggunaan ventilator.
"Pneumonia yang sering terjadi dan dapat bersifat serius bahkan kematian, yaitu pneumonia komunitas," ujarnya.
Penularan pneumonia terjadi melalui saluran napas, harus terhirup virus, bakteri atau jamurnya. Kalau hanya sekedar bersentuhan tidak akan menyebabkan penularan.
Selain itu, pneumonia bisa juga disebabkan oleh kuman atau bakteri yang ada di saluran napas berkolonisasi menjadi banyak. Hal ini terjadi karena sistem imun rendah, bakteri bisa memperbanyak diri dan menimbulkan peradangan atau kerusakan jaringan.
Penyebab lainnya bisa karena peralatan kedokteran yang ada di rumah sakit, mulai dari alat infus, selang dan lainnya. Alat tersebut sudah kuman kemudian menjadi pneumonia yang disebut pneumonia rumah sakit.
Sementara itu, pneumonia Wuhan disebabkan oleh virus corona tipe baru yang belum memiliki nama resmi. Orang yang membawa penyakitnya sulit terjaring dalam skrining mengingat ada kemungkinan ia belum bergejala meski sudah memiliki kemampuan menularkannya kepada orang lain.
Virus corona tipe baru itu disebut menjadikan kelelawar sebagai inangnya. Namun, sang inang tak pula menjadi sakit. Virus ini awalnya menjangkiti orang yang diduga mengonsumsi masakan daging kelelawar di Wuhan.
Satgas Waspada dan Siaga Virus Korona PB IDI, dr Erlina Burhan SpP mengungkapkan, risiko kelelawar di Indonesia membawa virus corona tipe baru juga ada. Ia pun menyarankan agar masyarakat tidak mengonsumsi daging hewan liar, seperti kelelawar.
Bagi masyarakat yang terbiasa mengonsumsi daging kelelawar, Erlina menganjurkan agar daging itu direbus terlebih dahulu dengan air mendidih. Ia mengatakan bahwa virus akan mati dengan pemanasan hingga 60 derajat Celcius.
Semua pedagang dan pembeli juga diserukan untuk lebih menjaga kebersihan. Hal sederhana yang harus dilakukan ialah mencuci tangan dengan sabun setelah memotong atau memegang daging kelelawar.
"Saya ingatkan agar selalu dijaga dan lebih bersih. Yang motong-motong dagingnya di sana, tolong untuk cuci tangan," kata Erlina.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio mengatakan bahwa mencuci tangan sebelum memegang mulut, hidung, dan mata merupakan cara utama mencegah penularan virus corona jenis baru (2019-nCov).
"Kalau penderita bersin lalu ada tetesan yang jatuh ke meja kita lalu ada orang memegangnya, maka orang itu bisa kena. Atau, orang batuk di bus atau kereta sudah menutup mukanya, tapi lalu memegang gantungan kemudian setelah ia turun orang memegang gantungan, bisa menular kalau orang itu langsung memegang mulut, hidung, mata. Jadi cuci tangan itu penting," kata Amin di Kantor Staf Presiden (KSP) Jakarta, Kamis (6/2).
ia menjelaskan bahwa virus coronatidak bisa hidup lama di luar sel.
"Virus corona tidak bisa hidup di luar sel yang kering, hanya bisa hidup di situ satu hari, jadi tidak bisa masuk ke tubuh. Maka yang penting cuci tangan," katanya.
Amin menegaskan bahwa hingga saat ini belum belum ada kasus yang dikonfirmasi sebagai kasus infeksi 2019-nCov di Indonesia. Ia menilai, Indonesia telah memiliki fasilitas pendukung yang cukup untuk mendeteksi kasus infeksi virus corona.
"Yang punya alatnya juga cukup banyak, bukan hanya lab perguruan tinggi, tapi juga pihak swasta, tapi swasta kan tidak rutin pemeriksaan untuk virus corona. Yang saya tahu saat ini yang memeriksa adalah Litbangkes (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan) Kementerian Kesehatan dan kedua di Lembaga Eijkman," kata Amin.