Senin 10 Feb 2020 03:00 WIB

Terapi Sel Untuk Kanker Ternyata Sudah Ada di Indonesia

Klinik Hayandra tawarkan terapi sel lewat teknologi ICT

Red: Ichsan Emrald Alamsyah
penelitian (ilustrasi). Klinik Hayandra tawarkan terapi sel lewat teknologi ICT yang berasal dari sel darah pasien.
penelitian (ilustrasi). Klinik Hayandra tawarkan terapi sel lewat teknologi ICT yang berasal dari sel darah pasien.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak penderita kanker dari Indonesia yang mencari alternatif terapi ke luar negeri. China merupakan salah satu negara asing yang sering menjadi destinasi medis masyarakat Indonesia, terutama untuk pengobatan kanker dengan menggunakan terapi sel.

Meski begitu ternyata di Indonesia, beberapa klinik menawarkan terapi sel khususnya bagi penderita kanker. Seperti yang disampaikan Doktor di bidang Biomedik lulusan UI sekaligus ketua dan pendiri Yayasan Hayandra Peduli Dr dr Karina, SpBP-RE. Yayasan Hayandra yang menaungi Klinik Hayandra & Hayandralab, menurut Dr Karinan memiliki solusi terkait terapi sel.

“Jadi tidak perlu khawatir karena saat ini terapi sel sebagai terapi pendukung pengobatan kanker, sudah ada di Indonesia,” kata Dr Karina akhir pekan lalu.

Teknologi pendukung terapi kanker yang dimaksud adalah teknologi Immune Cell Therapy (ICT) yang kini bisa diperoleh di Klinik Hayandra dan HayandraLab. Teknologi ini dibawa langsung oleh Dr Karina dari negeri sakura Jepang.

“Berawal dari pengobatan kanker kolon ibu saya di Jepang pada tahun 2016 silam, tim kami berhasil menarik teknologi terapi sel yaitu Immune Cell Therapy atau ICT dari Jepang ke Indonesia," ungkap Dr Karina.

Teknologi ICT merupakan hasil pembiakan dari darah pasien sendiri yang terdiri dari perpaduan sel T, sel NK dan sel NKT, yang merupakan sel imun alamiah tubuh kita. "Pada pasien kanker, terutama pasien yang pernah menjalani kemoterapi, sel imun ini akan terhantam jumlahnya. Padahal jumlah dan keaktifan sel-sel ini merupakan kunci tubuh kita untuk dapat memusnahkan sel kanker yang tersisa dari operasi, radiasi ataupun kemoterapi," tutur Dr Karina.

Karena berasal dari darah pasien sendiri (autologus), terapi ini aman karena tidak ada risiko penolakan dari tubuh. Berkaca dari pengalaman saat menemani ibunda berobat ke Jepang, Dr Karina merasa bahwa masih banyak hal yang dapat diperbaiki saat menarik teknologi ini ke Indonesia.

Biayanya sangat mahal, namun modalitas terapi yang lain seperti perbaikan pola makan, infus vitamin C, suplementasi vitamin D3 dan probiotik, serta pendampingan psikologi, sama sekali tidak diberikan di Jepang.

“Di Indonesia, semua ini kami berikan dalam upaya untuk membuat terapi ini lebih efektif. Beberapa penyempurnaan tehnik melalui tahapan validasi yang panjang juga telah kami lakukan, sehingga terapi ini lebih cocok bagi sel orang Indonesia yang ternyata berbeda dengan Jepang," ujar Dr Karina.

Dr Karina menambahkan ICT itu merupakan terapi pendukung dalam terapi kanker dan gangguan imunitas lainnya, yang memanfaatkan sel imun (pertahanan/kekebalan) tubuh, yaitu sel T, sel NK, sel NKT, dan sel lainnya. "Sel-sel ini secara alamiah di dalam tubuh kita,  berguna untuk menyerang sel kanker baik secara langsung ataupun tidak langsung," ucap dia.

Prinsip dari terapi ini, ucap dia, Dr Karina adalah meningkatkan sistim imun tubuh pasien dengan memperbanyak jumlah sel imun dari tubuh pasien sendiri (autologus), kemudian mengaktivasi, dan menginfuskannya kembali ke tubuh pasien. Terapi ICT diawali dengan melakukan pengambilan darah pasien sebanyak kurang lebih 60 cc, diikuti dengan proses pembiakan & aktivasi selama dua pekan, lalu diinfuskan kembali ke pasien selama sekitar satu jam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement