Jumat 14 Feb 2020 11:41 WIB

Transgender, Antara Identitas Gender dan Kelainan Kejiwaan

Transgender tak nyaman dengan identitas gender aslinya, tanda gangguan kejiwaan?

Rep: Desy Susilawati/ Red: Reiny Dwinanda
Transgender Lucinta Luna. Terlahir sebagai seorang pria, kini negara mengakuinya sebagai wanita.
Foto: Instagram/@lucintaluna
Transgender Lucinta Luna. Terlahir sebagai seorang pria, kini negara mengakuinya sebagai wanita.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tertangkapnya selebritas Lucinta Luna terkait kasus penyalahgunaan narkotika memunculkan perbincangan mengenai status gendernya. Terlebih, setelah polisi meramaikan pemberitaan dengan mengungkap alasan penempatan Lucinta di sel wanita.

Polisi kemudian menjelaskan bahwa Lucinta yang bernama asli Muhammad Fattah pernah melakukan operasi ganti kelamin dari pria ke wanita di Rumah Sakit Rajyindee, Thailand, pada 24 April 2016. Lucinta juga telah mengajukan permohonan perubahan nama menjadi Ayluna Putri dan identitas gender menjadi perempuan untuk dicantumkan pada Kartu Tanda Penduduk (KTP_ di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, pada 20 Oktober 2016 lalu.

Baca Juga

Pengadilan pun mengabulkan permohonan Lucinta melalui putusan bernomor 1230/Pdt.P/2019/PN.Jkt.Sel tertanggal 20 Desember 2019. Lahir sebagai seorang laki-laki pada 16 Juni 1989, Lucinta pun sah secara hukum sebagai wanita.

"Orang-orang yang memutuskan untuk mengubah jenis kelamin biasanya merasa dirinya tidak nyaman dengan jenis kelaminnya saat lahir," ujar dokter spesialis kesehatan jiwa dr Alvina SpKJ dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Jumat (14/2).

Transgender, menurut Alvina, bukanlah penyakit kejiwaan. Dengan begitu, tak ada upaya medis untuk menyembuhkannya.

Alvina menjelaskan, ada beberapa hal yang membuat seseorang mengubah jenis kelaminnya. Contohnya, orang tersebut merasa dirinya dilahirkan dengan jenis kelamin yang salah, seperti yang dialami oleh transgender.

Seorang transgender biasanya memang sejak dini merasa bahwa dirinya terperangkap dalam tubuh yang salah. Biasanya, transgender akan berusaha mengubah dirinya menjadi sesuai dengan jenis kelamin yang ia rasakan sebagai jenis kelaminnya.

Alvina menuturkan, mengubah diri tentunya perlu waktu, tenaga, dan biaya sehingga perubahan juga disesuaikan dengan kondisi tersebut. Mereka tentunya juga memikirkan faktor lingkungan.

“Transgender sendiri termasuk identitas gender sehingga bukan sesuatu gangguan jiwa yang membutuhkan terapi," kata psikiater dari RS Awal Bros Bekasi Barat itu.

Menurut Alvina, identitas gender adalah pengalaman internal dan individual yang mendalam mengenai gender. Otomatis, seseorang akan menghayatinya untuk dirinya sendiri.

Alvina mengatakan, transgender pada umumnya tidak memengaruhi orang lain untuk ikut mengubah jenis kelaminnya. Biasanya, mereka akan merasa menjadi dirinya yang seutuhnya dan sebenarnya ketika mengubah jenis kelaminnya.

“Setelah mengubah jenis kelaminnya, para transgender berharap bisa merasa lebih baik, lebih tenang, dan lebih damai karena sudah menjadi dirinya secara utuh,” ujarnya.

Setelah mengubah identitas gendernya, transgender akan mengalami banyak hal. Tak terkecuali respons masyarakat.

“Dalam prosesnya, para transgender akan menjadi terbuka tentang transgendernya dan mengalami penolakan atau ejekan atau hinaan yang bisa berdampak pada mentalnya sendiri," ungkap Alvina.

Transgender akan merasa tidak nyaman saat masyarakat menghakimi atau mengejeknya. Alvina pun menghimbau agar masyarakat bersikap baik dan memperlakukan transgender tersebut sebagai seorang manusia yang memiliki hak asasi sama seperti orang lainnya.

“Masyarakat juga bisa membantu mengarahkan transgender untuk datang kepada tenaga profesional bila ia mengalami kebingungan tentang kondisi dirinya,” ujarnya.

Sementara itu, dalam wawancara terdahulu dengan Republika.co.id, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Dr dr Dadang Hawari mengungkapkan bahwa transgender maupun lesbian, gay, dan biseksual merupakan penyimpangan atau kelainan kejiwaan. Hal itu bisa dikoreksi.

"Bisa dikoreksi karena bukan dari gen, tapi pengaruh lingkungan. Yang penting yang bersangkutan menyadari bahwa apa yang dia lakukan tidak sesuai fitrahnya," ujar Dadang.

Menurut Dadang, kendala yang dihadapi dari para pelaku LGBT ialah belum adanya kesadaran dari internal yang bersangkutan untuk berubah. Dadang menjelaskan, pengobatan medis dilakukan dengan pemberian obat-obat untuk memperbaiki transmisi syarafnya kemudian diperkuat dengan konseling psikologis.

Dari segi sosial, pelaku LGBT harus dipisahkan agar tidak bergaul sesama pelaku LGBT. Di samping itu, Dadang memandang bahwa mereka juga perlu diberikan pelajaran agama.

"Karena-kadang mereka tidak tahu agama. Jadi, diajarkan lagi bahwa laki-laki dan perempuan itu sudah disesuaikan fitrahnya dan diberikan keyakinan bahwa pintu taubat masih ada," ujar psikiater senior tersebut.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement