Jumat 28 Feb 2020 11:01 WIB

Anak Perempuan Lebih Lambat Terdiagnosis Autis

Dibandingkan anak laki-laki, anak perempuan lebih lambat terdiagnosis autis.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Reiny Dwinanda
Anak Autis (Ilustrasi). Berdasarkan hasil penelitian, anak perempuan lebih lambat terdiagnosis autis daripada anak laki-laki.
Foto: ABCNews
Anak Autis (Ilustrasi). Berdasarkan hasil penelitian, anak perempuan lebih lambat terdiagnosis autis daripada anak laki-laki.

REPUBLIKA.CO.ID, PROVIDENCE -- Sebuah studi menunjukkan bahwa anak perempuan cenderung terdiagnosis autisme lebih lambat daripada anak laki-laki. Alhasil, mereka mendapatkan diagnosis itu saat sudah lebih besar.

“Keterlambatan dalam diagnosis adalah temuan penting secara klinis,” kata penulis studi dan profesor biologi molekuler, Ilmu Saraf dan Psikiatri di Universitas Brown, Eric Morrow dilansir Health24, Rabu (26/2).

Baca Juga

Perawatan utama yang manjur dalam autisme umumnya berhasil jika dilakukan sedini mungkin. Orang tua bisa memasukkan anak-anak dengan diagnosis autisme ke layanan intensif, termasuk terapi perilaku.

"Jadi, jika kita terlambat mengidentifikasi anak perempuan, itu berarti menunda terapinya," ujar dia.

Keterlambatan bicara, sering kali menjadi tanda autisme pertama yang diperhatikan orang tua dan dokter. Namun, dalam penelitian, anak perempuan terungkap ini memiliki kemampuan bahasa yang lebih maju daripada anak laki-laki. Hal itu diduga menjadi faktor yang membuat diagnosis autisme tak segera ditegakkan.

Penelitian itu melibatkan 1.000 peserta pertama dalam Konsorsium Rhode Island untuk Penelitian dan Perawatan Autisme. Rata-rata, anak perempuan didiagnosis autisme hampir 1,5 tahun lebih lambat daripada anak laki-laki. 

Seorang profesor psikiatri dan pediatri di Universitas Brown, Stephen Sheinkopf, mengatakan bahwa diagnosis dini autisme adalah hal penting. Menurut dia, para ahli harus berpikir tentang bagaimana meningkatkan deteksi autisme pada seseorang, termasuk pada anak-anak perempuan yang tidak memiliki tingkat keterlambatan bahasa primer yang sama, tetapi mungkin mengalami kesulitan lain dalam komunikasi sosial, bermain sosial, dan beradaptasi dengan sosial.

Sheinkopf berpendapat, ahli juga harus memikirkan kembali intervensi awal untuk memastikan itu dirancang dengan tepat untuk anak-anak yang mungkin memerlukan bantuan pada elemen adaptasi sosial. Ia mengatakan, terapi harus diperbaiki agar sesuai dengan kebutuhan tiap individu.

Studi ini juga menemukan bahwa anak laki-laki empat kali lebih banyak terdiagnosis autisme daripada anak perempuan. Anak autis juga diketahui sering memiliki gangguan mental dan fisik yang lain.

Hampir setengah dari peserta penelitian itu memiliki kelainan perkembangan saraf lain, seperti gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) atau disabilitas intelektual. Selain itu, 44 persen partisipan memiliki gangguan kejiwaan, 43 persen memiliki kondisi neurologis, seperti kejang atau epilepsi, migrain, atau tics, dan 93 persen memiliki setidaknya satu kondisi medis umum.

Hampir sepertiga partisipan memiliki masalah perilaku lain. Morrow mengatakan bahwa kondisi yang terjadi bersamaan ini juga harus menjadi fokus terapi untuk anak autis.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement