Selasa 08 Feb 2022 22:16 WIB

Dua Ilmuwan Penemu Vaksin Covid-19 Corbevax Meraih Nobel Perdamaian

Vaksin Corbevax sudah mendapatkan izin penggunaan di India.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Nora Azizah
Vaksin Corbevax sudah mendapatkan izin penggunaan di India.
Foto: PxHere
Vaksin Corbevax sudah mendapatkan izin penggunaan di India.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- María Elena Bottazzi bersama Dr Peter Hotez merupakan sosok yabg memimpin tim dari Pusat Pengembangan Vaksin Rumah Sakit Anak Texas, yang menemukan vaksin Corbevax untuk Covid-19. Ini merupakan vaksin bebas paten yang bulan lalu sudah mendapat izin darurat untuk digunakan di India.

“Tidak pernah terlintas dalam pikiran saya untuk mencari pekerjaan di perusahaan multinasional. Saya orang Amerika Tengah, dan melakukan proyek nirlaba adalah cara saya berkontribusi sedikit untuk Honduras,” ucap Bottazzi dilansir dari NBC News, Selasa (8/2/2022).

Baca Juga

Corbevax didasarkan pada protein rekombinan, teknologi tradisional yang telah digunakan selama beberapa dekade, dalam obat-obatan yang sudah mapan seperti vaksin hepatitis B dan pertusis. Vaksin ini menggunakan sejumlah besar protein virus untuk mengaktifkan respon imun tubuh, tetapi tanpa membuat pasien sakit.

“Ini adalah proses yang jauh lebih murah daripada teknologi messenger RNA yang digunakan Pfizer atau Moderna. Kami memilih metode yang paling terukur, dapat direproduksi, dan stabil dengan sel ragi yang memfermentasi dan mengkodekannya untuk menghasilkan protein ini. Artinya, itu tidak memiliki turunan hewani, semuanya sintetis. Selain itu, siapa pun bisa menirunya dan berkolaborasi dengan kami,” kata Bottazzi.

Pekan lalu, Bottazzi menerima telepon dari Pemerintahan Texas, Lizzie Fletcher, yang menurutnya merupakan salah satu kejutan besar dalam hidupnya. Fletcher memberitahunya bahwa dia telah menominasikan Bottazzi dan Hotez untuk Hadiah Nobel Perdamaian.

Strategi untuk mengimunisasi populasi dunia terhadap Covid, masih bergerak lambat. Menurut Our World in Data, sebuah inisiatif Universitas Oxford yang menganalisis laporan pemerintah secara global, sekitar 59 persen populasi dunia telah menerima setidaknya satu dosis vaksin.

Namun, angka yang paling mengkhawatirkan adalah bahwa penduduk di negara-negara berpenghasilan rendah yang sudah menerima dosis pertama vaksin, baru sekitar di bawah sembilam persen. Ketimpangan dalam distribusi vaksin telah menyebabkan kemarahan besar di antara kelompok aktivis, gerakan politik, dan pejabat tinggi WHO.

Sejak awal pandemi, Bottazzi dan timnya memutuskan untuk menggunakan pengetahuan yang telah mereka kembangkan selama beberapa dekade, untuk mengembangkan obat gratis untuk semua orang.

“Semua orang berbicara tentang kesetaraan, tetapi tidak ada yang melakukan apa pun. Itulah mengapa kami menciptakan Corbevax, meskipun kami adalah tim kecil dan kami membutuhkan waktu lebih lama daripada laboratorium besar,” kata dia.

Ketika Covid mulai menyebar ke seluruh dunia, para peneliti sudah mengetahui kemajuan teknologi yang dapat membantu menghasilkan obat untuk memerangi virus corona. Tetapi karena pendanaan publik dan swasta yang langka (di antara para donor swasta, merek vodka menonjol; itu membawa tim satu juta dolar), mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk memproduksi vaksin.

Seperti banyak prestasi ilmiah lainnya, penciptaan Corbevax adalah produk dari penelitian masa lalu, yang pada saat itu, tidak mendapat perhatian dan dukungan, untuk lebih menyempurnakan proses dan metode yang sangat penting. Meskipun Corbevax akhirnya menjadi dorongan obat untuk masa depan.

"Saat ini, kami sedang mengerjakan konsep vaksin universal karena kami khawatir, saat kami divaksinasi, virus akan terus bermutasi. Omicron akan berakhir, tetapi varian baru akan datang. Kami tidak tahu virus corona apa lagi yang bisa muncul di tahun-tahun mendatang, tapi kita telah melihat bahwa setiap lima atau 10 tahun, akan ada satu varian yang muncul. Itu sebabnya kita harus terus menyelidiki," kata Bottazzi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement