Rabu 25 May 2022 11:34 WIB

Cacar Monyet Diprediksi Sudah Berbulan-bulan Menyebar di Eropa Sebelum Akhirnya Terdeteksi

Wabah cacar monyet diduga sudah ada sebelum dua pesta besar di Eropa.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Reiny Dwinanda
Foto yang dipasok CDC pada 1997 memperlihatkan kulit lengan kanan dan dada seorang pasien ditumbuhi lesi cacar monyet. Selama lesi masih ada, pasien cacar monyet masih bisa menularkan penyakitnya. Dua pesta besar di Eropa diduga menjadi sumber wabah cacar monyet.
Foto: (CDC via AP)
Foto yang dipasok CDC pada 1997 memperlihatkan kulit lengan kanan dan dada seorang pasien ditumbuhi lesi cacar monyet. Selama lesi masih ada, pasien cacar monyet masih bisa menularkan penyakitnya. Dua pesta besar di Eropa diduga menjadi sumber wabah cacar monyet.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wabah cacar monyet di Eropa disinyalir berkaitan dengan penyelenggaraan dua acara besar di Eropa. Namun, ahli memprediksi bahwa cacar monyet kemungkinan sudah bersirkulasi di Eropa jauh sebelum itu.

"(Merupakan hal yang mungkin bila virus monkeypox) telah bersirkulasi selama dua pekan, mungkin dua bulan, atau lebih lama dari itu," jelas tim ahli dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC), seperti dilansir Insider, Rabu (25/5/2022).

Baca Juga

Wakil Direktur Divisi Patogen Berkonsekuensi Tinggi CDC, drh Jennifer McQuiston, mengungkapkan bahwa saat ini ada lima kasus cacar monyet terkonfirmasi dan suspek di Amerika Serikat. Kelima kasus tersebut kini sedang menjalani perawatan dan pengetesan. Dari pengetesan ini, tim peneliti menemukan bahwa sebagian dari kasus tersebut telah terkena virus monkeypox sejak awal April 2022.

Di sisi lain, dua pesta di Eropa yang dinilai menjadi sumber wabah baru diselenggarakan pada Mei. Pesta Gay Pride di Pulau Canary misalnya, dimulai pada 5 Mei, sedangkan parade gay di Belgia baru dilangsungkan pada 21 Mei.

"Sebagian dari individu ini melaporkan kemunculan (gejala) pada awal Mei dan melakukan perjalanan pada akhir April, jadi itu mendahului penyelenggaraan beberapa festival," ungkap McQuiston.

Sekuens genetika dari kasus cacar monyet pertama yang ditemukan di Amerika Serikat pada wabah kali ini dan juga sekuens genetika dari kasus yang ditemukan di Portugal pada pekan lalu telah diteliti. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa kedua kasus ini sangat berkaitan dengan virus monkeypox yang biasa ditemukan di Afrika Barat.

Akan tetapi, belum diketahui secara pasti berapa lama virus ini telah beredar di Eropa dan Amerika Utara tanpa terdeteksi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mengungkapkan bahwa sekuens virus dari kasus di Portugal memiliki kesamaan dengan kasus-kasus cacar monyet yang ditemukan di Nigeria pada 2018 dan 2019.

Dalam wabah cacar monyet yang muncul saat ini, sebagian besar kasusnya dialami oleh pria yang berhubungan seksual dengan pria. Akan tetapi, para ahli mengatakan bahwa kecenderungan ini mungkin dipengaruhi oleh lokasi munculnya ruam pada penderita cacar monyet, seperti area genital dan dekat bokong.

Lokasi tersebut membuat tampilan gejala cacar monyet bisa terlihat mirip dengan gejala sifilis atau herpes. Dalam satu kasus, seorang dokter juga sempat mengira gejala yang ditunjukkan pasien cacar monyet sebagai kasus herpes.

"Dan tidak langsung berpikir, 'Oh, mungkinkah ini cacar monyet?'," jelas ahli epidemiologi dari divisi pencegahan HIV dan AIDS CDC dr John Brooks.

Para ahli juga menjelaskan bahwa transmisi virus monkeypox biasanya terjadi lewat kontak erat dengan ruam atau lesi pada tubuh individu yang terinfeksi. Penularan bisa terjadi pada siapa saja yang melakukan kontak erat, tanpa memandang orientasi seksual atau jenis kelamin.

Masa inkubasi virus monkeypox berkisar antara enam hingga 21 hari sejak kontak terjadi. Ruam pada cacar monyet biasanya akan berkembang menjadi lentingan, lalu keropeng, dan setelah itu rontok. Selama periode yang bisa berlangsung hingga empat pekan ini, area ruam bisa menularkan penyakit.

Menurut McQuiston, penularan terjadi lewat kontak erat dengan lesi atau ruam di tubuh penderita. Penularan kemungkinan tidak akan terjadi hanya karena orang yang sehat berpapasan di swalayan dengan individu yang terinfeksi.

"Ini bukan Covid-19. Sebagian besar aspek menular dari penyakit ini adalah lesi-lesi di kulit," ujar McQuiston.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement