REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kedai kopi tidak lagi sekadar menawarkan racikan dan sajian kopi khasnya saja. Kedai berkonsep unik juga menjadi daya pikat tersendiri.
Seperti ketika memasuki kedai Mazea Coffee, pengunjung akan disambut grafiti berupa nasihat islami. Kedai Mazea Coffee ada di dalam area The Hood bersama merek lainnya, seperti produk-produk pakaian Muslim.
Suasana kedai kopi Mazea Coffee di Kawasan Hang Lekir, Jakarta, Sabtu (13/4).
Kenly, konseptor sekaligus perancang grafiti Mazea Coffee mengatakan, label Mazea memang baru awal tahun ini dibuat. "Kita lebih pada konsep Muslim yang anak muda, bukan baju-baju koko Tanah Abang gitu. Ngopi di sini bisa buat yang kerja, komunitas," ujarnya.
Kendati mengusung konsep islami, diakui Kenly, baik non-Muslim maupun ekspatriat sudah cukup banyak yang berkunjung ke Mazea Coffee. Menurut dia, justru banyak yang mencari ketenangan daripada nongkrong di kedai kopi yang mewah.
Suasana kedai kopi Mazea Coffee di Kawasan Hang Lekir, Jakarta, Sabtu (13/4).
Dia juga optimistis dengan keberadaan kedai kopi kecil. Menurutnya, banyak kedai kecil yang dianggap mengancam merek besar, termasuk dari luar negeri. Salah satu alasannya karena sajian kopi nusantara yang memang memiliki rasa khas paling enak.
Signature rasa dari kedai-kedai kecil itulah yang justru sering kali menang di ajang-ajang perlombaan.
Sumber: Mazea Coffee
Kenly juga menjelaskan, sebenarnya sehat dengan kopi itu berarti juga mengonsumsi kopi berkualitas sekaligus menikmatinya di lingkungan sehat. Jika kopi identik dengan aktivitas merokok, beda halnya dengan Mazea yang sama sekali tidak menyediakan tempat merokok.
"Kita konsepnya lebih pada ngumpul, tapi nggak sia-sia karena buat apa kalau cuma kumpul ngomongin orang tidak ada manfaatnya, kita ingin komunitasnya menjadi nyawa untuk si kedai kopi," tambahnya.
Konsep unik juga dihadirkan oleh Kedai Koptul --singkatan dari Kopi Tuli-- yang ada di daerah Duren Tiga, Jakarta Selatan. Tidak seperti kedai kopi pada umumnya, Koptul memasang menu dengan urutan sajian sesuai abjad yang dilengkapi dengan gambar-gambar isyarat tangan di meja kasir, tempat seorang perempuan berkerudung menyapa dengan senyuman hangat serta siap mencatat pesanan. Panas atau dingin? tanya perempuan bernama Aldilla itu dengan bahasa verbal terbatas sambil menggunakan bahasa isyarat.
Tak hanya Koptul, Sunyi House of Coffee and Hope juga menggunakan kopi sebagai bagian dari strategi untuk memperjuangkan kesetaraan hak bagi para penyandang disabilitas. Berbeda dengan Koptul yang tidak menghadirkan alunan musik, Sunyi House of Coffee justru memutar musik sebagaimana kafe pada umumnya. Nama Sunyi dipilih sebagai simbol bahwa para penyandang disabilitas ingin sunyi dari perbedaan dan diskriminasi.
Kafe itu kemudian menjadi tempat kolaborasi berbagai komunitas, mulai dari komunitas penyandang disabilitas hingga kelompok pejalan. Sunyi biasa menjadi tempat acara komunitas pada akhir pekan.
Sunyi House of Coffee and Hope dirancang ramah penyandang disabilitas. Blok-blok pemandu bagi tunanetra dipasang di bagian teras, dan buku-buku pelajaran bahasa isyarat disediakan bagi pelanggan. Kafe itu juga ramah lingkungan, menggunakan sedotan berbahan logam serta menyajikan makanan dan minuman dalam piring dan gelas dengan alas dari potongan kayu.
"Di sini kita tidak membedakan siapa pun, kita ingin membuat sebuah ruang untuk teman-teman yang dianggap memiliki keter batasan dengan teman yang tidak memiliki keterbatasan. Mereka bisa duduk, ngopi, ngobrol, ketemu, saling berkolaborasi," kata Mario P Hasudungan Gultom, pendiri Sunyi.