REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Bisnis pempek di Kota Palembang tertekan kenaikan kargo pesawat sejak awal tahun. Bisnis pempek juga tertekan pajak pempek yang diterapkan pemerintah setempat sehingga membuat kalangan UMKM resah.
Ketua Asosiasi Pengusaha Pempek Kota Palembang, Yenny Cek Molek, mengatakan rata-rata omzet UMKM pempek sudah turun 30 persen akibat kenaikan kargo sejak awal tahun.
"Tarif ekspedisi sudah tinggi, sekarang di tambah lagi beban pajak pempek untuk oleh-oleh, mungkin aturan pajak bisa dipertimbangkan lagi oleh Pemkot Palembang," ujar Yenny, Rabu (24/7).
Berdasarkan data ekspedisi yang ia terima, saat ini pengiriman pempek ke luar kota rata-rata dua ton per hari. Padahal tahun sebelumnya dapat mencapai tiga hingga empat ton per hari.
Sedangkan pajak pempek yang tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) nomor 84 tahun 2018 mengharuskan usaha pempek dengan omzet Rp 3 juta per bulan dikenakan pajak pembeli sebesar 10 persen.
"Pajak 10 persen sebenarnya sudah lama diterapkan karena itu pajak restoran yang memang besar. TEtapi jika UMKM beromzet Rp 3 juta juga dikenakan pajak pembeli, maka akan banyak sekali UMKM yang teriak," jelasnya.
Padahal, kata dia, produksi pempek tengah menanjak dua tahun terakhir. Ini merupakan dampak Asian Games 2018 serta didukung imbauan Gubernur Sumsel yang mengharuskan pempek sebagai sajian utama di semua instansi pemerintahan.
Dengan demikian pajak tersebut dirasa tidak beriringan dengan semangat mengembangkan pempek. Apalagi pempek baru saja mendapatkan predikat kuliner untuk kota kreatif dari Bekraf.
"Pada dasarnya program pajak pemerintah kami dukung. Namun para penjual pempek ingin klasifikasi yang dikenakan pajak itu jelas dan terukur dengan omzet per bulan. Sudah banyak keluhan yang kami terima terkait penurunan omzet imbas informasi pajak pempek itu," kata Yenny.