Kamis 11 Apr 2019 00:13 WIB

Jangan Viralkan Korban dan Pelaku Penganiayaan di Kalbar

Memviralkan pelajar pelaku dan korban penganiayaan memiliki sanksi hukum.

Rep: Umi Soliha/ Red: Ani Nursalikah
Tiga dari 12 siswi SMU yang diduga menjadi pelaku dan saksi dalam kasus penganiayaan siswi SMP berinisial AU (14) memberi keterangan saat jumpa pers di Mapolresta Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (10/4/2019).
Foto: Antara/Jessica Helena Wuysang
Tiga dari 12 siswi SMU yang diduga menjadi pelaku dan saksi dalam kasus penganiayaan siswi SMP berinisial AU (14) memberi keterangan saat jumpa pers di Mapolresta Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (10/4/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan semua pihak yang memviralkan identitas korban dan pelaku penganiayaan anak di Kalimantan Barat akan dipenjara lima tahun dan didenda Rp 500 juta. "Kami berharap semua pihak, identitas korban dan pelaku, agar yang bersangkutan tidak mendapatkan stigma negatif dan berdampak kompleks. Penyebaran identitas korban dan pelaku merupakan pelanggaran hukum," ujarnya, Rabu (10/4).

Ia menambahkan, pelanggaran tersebut sudah diatur dalam UU 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak pasal 19. Susanto menjelaskan poin UU tersebut. Pertama, media cetak dan elektronik tidak diperkenankan memberitakan identitas anak, baik korban maupun saksi.

Baca Juga

Identitas yang ia maksud adalah nama anak korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak korban atau anak saksi. "Sedangkan dalam pasal 97, setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 19 ayat 1 akan dipidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta," ujarnya.

Ia menambahkan, seluruh satuan pendidikan diharapkan meningkatkan upaya preventif dan membangun sinergi antara sekolah, orang tua dan masyarakat. Mereka harus memastikan anak tumbuh karakternya dengan baik dan melakukan deteksi dini secara tepat agar anak tidak rentan menjadi pelaku aktivitas menyimpang.

Selain itu, yang tidak kalah penting, orang tua harus meningkatkan perhatian dan kualitas pengasuhan keluarga agar anak tumbuh menjadi pribadi yang unggul, mengisi hari-harinya dengan aktivitas positif dan memiliki visi ke depan. "Seiring dengan pesatnya dunia digital, dewasa ini anak rentan terpapar dampak negatif dan mengimitasi perilaku yang tak pantas, bahkan melanggar hukum. Satuan pendidikan dan keluarga perlu meningkatkan pengetahuan digital untuk mencegah dan selalu mengingatkan anak tidak menyalahgunakan media sosial, seperti melakukan perundungan,"ujar Susanto.

Pengamat media sosial Enda Nasution memberikan tips kepada masyarakat bagaimana menggunakan media sosial yang sehat. Menurut Enda, pada dasarnya jika masyarakat menggunakan media dengan wajar, untuk berinteraksi dan komunikasi tidak akan ada masalah. Namun, biasanya masalah timbul ketika mereka menggunakan medsos dengan kondisi emosional.

Tips kedua, masyarakat harus fokus dengan tujuan menggunakan medsos. Jangan melebar kepada hal yang tidak perlu seperti cacian atau hal-hal yang tidak menyelesaikan masalah. "Sering kali kebanyakan orang terjerumus ke suatu hal yang tidak diinginkan karena ingin menyakiti lawan. Tidak bisa bertemu langsung akhirnya mereka pakai kata-kata. Kata-kata itu yang biasanya lebih menyakitkan," ujarnya.

Masyarakat perlu memahami, apa pun yang dilakukan di dunia maya akan ada konsekuensi dan sanksi hukum. Dia menambahkan, interaksi apa pun yang dilakukan harus dalam kondisi sadar.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement