REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Shaken baby syndrome alias sindrom bayi terguncang termasuk kondisi yang mengancam nyawa. Insidennya diperkirakan sekitar 15-30 kejadian per 100 ribu bayi berusia kurang dari satu tahun.
"Bayi berusia kurang dari satu bulan hingga anak berusia lima tahun berpotensi besar mengalami sindrom bayi terguncang," kata dr Dito Anurogo MSc, dosen FKIK Unismuh Makassar.
Pencetus utamanya adalah tangisan kuat bayi yang berkelanjutan dan sulit dihentikan. Orang-orang di sekitar atau di dekat bayi, secara otomatis tergerak untuk menenangkannya. Umumnya, mereka mengayun, menepuk, atau mengguncang bayi supaya berhenti menangis.
Saat bayi menangis hebat, pengasuh berpotensi menjadi frustasi hingga mengguncang-guncang bayi sebagai refleks spontan untuk membuatnya terdiam. Dito menjelaskan, mengguncang bayi tidaklah serupa dengan menggoyang bayi dengan perlahan atau mengayun bayi dengan kaki yang bertujuan untuk menghibur sambil bersenda-gurau.
"Memperlakukan bayi dengan cara mengguncang-guncang secara kuat, keras, atau kasar berpotensi menimbulkan efek whiplash yang mencederai organ dalam, sehingga terjadi perdarahan di berbagai organ, seperti mata dan otak," jelas Dito.
Menurut Dito, tangisan bayi tersering dijumpai pada usia 6-8 minggu, kemudian perlahan mereda. Sindrom bayi terguncang pun memuncak di periode yang sama.
"Faktor risiko sindrom bayi terguncang selain kolik, ialah kurangnya perawatan prenatal (saat kehamilan, masa sebelum melahirkan), kurangnya pengalaman dalam pengasuhan bayi, problematika kesehatan perilaku, riwayat kekerasan dalam rumah tangga, intoleransi terhadap frustrasi, rendahnya tingkat edukasi, rendahnya status sosial ekonomi, keluarga orang tua tunggal (single-parent), dan orang tua muda tanpa dukungan memadai," ungkap Dito.