REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada saja anak yang tak bisa lepas dari gawai dalam kesehariannya. Berbagai arus informasi dan kemudahan yang ada di dalamnya membuat banyak orang lupa saat menggunakannya, termasuk si kecil.
Jika biarkan, kebiasaan ini akan memberikan dampak buruk, mulai dari gangguan mental sampai kematian. Pemerhati anak dan Ketua Rumah Amalia Muhammad Agus Syafii mengatakan, gawai dan aplikasi- aplikasi yang ada di dalamnya merupakan media untuk mencuci otak. Jika tidak diperhatikan secara khusus, maka akan berdampak pada hilangnya rasa nasionalisme atau bahkan lebih dari hal tersebut.
Agus juga memberikan contoh kasus yang pernah ia temui di Rumah Amalia. Beberapa anak yang sudah parah kecanduan gawai sampai tidak bisa konsentrasi saat diajak berkomunikasi.
"Ada kejadian yang menurut saya sudah keluar batas. Ada anak yang menangis histeris hanya karena tidak bisa log in ke akun Instagram-nya karena mereka merasa hidupnya cuma ada di Instagram," ujarnya dalam acara diskusi di Jakarta Selatan, Rabu (6/11).
Menurut Agus, ada beberapa dampak negatif yang akan diterima anak yang kecanduan gawai. Dia cenderung lebih dewasa dari usianya.
"Banyak anak kelas satu Sekolah Dasar (SD), tapi sudah berpikir mau punya pacar," ujarnya.
Di samping itu, anak yang tidak bermain gawai pun akan lebih sehat secara jasmani dan rohani. Agus pun mengatakan, anak akan lebih suka berdiskusi secara kelompok dan mudah bergaul jika terlepas dari gawai.
Untuk menghilangkan kertergantungan pada gawai, Agus melakukan detoksifikasi dengan menerapkan metode cognitive behavioural therapy (CBT). Dengan cara ini, ia ingin mengembalikan perilaku dan kebiasaan anak pada saat sebelum dirinya mengenal gawai.
Langkah pertama yang Agus lakukan adalah mengubah kebiasaan menggunakan gawai dengan kebiasaan membaca buku. Dengan begitu, yang anak buka saat bangun tidur bukan ponsel, malainkan buku.
Kedua, Agus mencoba membiasakan anak untuk lepas dari gawai satu jam sebelum tidur. Cara ini pun semakin membuat tidur mereka sangat berkualitas.
Agus juga mengajarkan anak-anak untuk mengucapakan kata-kata yang positif.
"Misalnya mereka berbicara 'Saya tidak bisa hidup dengan gawai' kita coba edukasi dengan menggantinya dengan mengucapkan 'Aku bisa menjadi anak cerdas jika tidak menggunakan gawai' dengan menerapkan ini anak akan semangat untuk lepas dari gawai," ujarnya.
Ketiga, orang tua dan anak harus sering berdiskusi untuk menyusun aktivitas yang membuat mereka bergerak. Dengan berdiskusi, menurut Agus, anak akan mudah untuk melakukan kegiatan tersebut karena berdasarkan kesenangannya.
"Efektifnya cara ini diterapkan dalam satu bulan. Jika sudah satu bulan, dijamin anak tidak kecanduan gawai," ungkapnya.