REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kesehatan reproduksi masih sering dianggap sebagai tema yang tabu untuk dibicarakan dengan anak-anak, khususnya remaja. Padahal, pemahaman remaja yang rendah terhadap kesehatan reproduksi memiliki implikasi yang cukup serius di kemudian hari.
Salah satu implikasi serius dari rendahnya pemahaman remaja mengenai kesehatan reproduksi adalah kehamilan di usia remaja. Di Indonesia, pemahaman remaja mengenai kesehatan reproduksi yang rendah menjadi salah satu penyebab terjadinya kehamilan dan pernikahan remaja.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa 35 persen dari remaja perempuan berusia 15-19 tahun sudah hamil dan mengalami risiko kurang energi kronis. Di sisi lain, hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2016 menunjukkan bahwa satu dari 9 anak perempuan di bawah usia 18 tahun sudah menikah. Bahkan sebanyak 0,5 persen di antaranya menikah pada usia di bawah 15 tahun.
Riset Perilaku Seksual 2017 yang dilakukan oleh Johns Hopkins Center ofr Communication Program (JHCCP) dan Universitas Gadjah Mada mengungkapkan kurangnya pemahaman remaja mengenai kesehatan reproduksi disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu di antaranya adalah pembicaraan mengenai kesehatan reproduksi masih dianggap tabu.
Pemahaman remaja yang rendah mengenai kesehatan reproduksi juga dipengaruhi oleh paparan sumber informasi dan bacaan yang tidak kredibel. Namun, yang paling krusial adalah absennya orang tua dalam memberikan pendidikan seksual yang memadai bagi remaja.
"Orang tua, khususnya ibu, masih diinginkan remaja, khususnya remaja putri, lebih khusus lagi remaja putri berusia 10-14 tahun, sebagai tempat bertanya, berdiskusi dan mendapatkan informasi," ungkap Country Representative JHCCP for Indonesia Fitri Putjuk.
Sayangnya, menurut Fitri, sering kali remaja tersebut tidak bisa mendapatkan informasi mengenai pendidikan seksual atau kesehatan reproduksi dari orang tua. Akibatnya, remaja beralih ke teman sebaya atau internet untuk mencari informasi yang tidak bisa didapatkan dari orang tua.
Fitri mengatakan, pembicaraan mengenai kesehatan reproduksi sebenarnya merupakan landasan yang dapat menentukan masa depan anak di masa mendatang. Alasannya, pemahaman mengenai kesehatan reproduksi dapat mempengaruhi kualitas kesehatan dan keluarga dan secara tidak langsung juga berdampak pada pertumbuhan ekonomi negara.
Penting bagi orang tua untuk bisa membangun komunikasi yang terbuka dan hangat di dalam keluarga. Komunikasi ini termasuk dalam hal pembicaraan mengenai topik yang sering kali dianggap orang tua atau masyarakat sebagai hal yang tabu, yaitu seksualitas dan reproduksi.
Fitri mengatakan orang tua biasanya semangat untuk belajar mengenai parenting ketika anak-anak mereka masih berusia 0-12 tahun. Namun ketika anak-anak mereka beranjak remaja, orang tua seringkali hanya berada dalam mode auto pilot.
Padahal, menurut Fitri, seiring dengan bertambahnya usia anak, tugas perkembangan anak pun semakin kompleks. Oleh karena itu, orang tua perlu mempersiapkan diri dengan lebih baik dan bersikap luwes dalam menghadapi perubahan yang akan terjadi ketika anak menginjak usia remaja..
"Sayangnya, tidak sedikit orang tua yang malah clueless dan bingung akan tantangan besar yang mereka hadapi," jelas Fitri.