REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski masih dipandang tabu oleh sebagian orang tua, pendidikan seksualitas penting untuk diberikan kepada anak secara komprehensif. Tentunya, orang tua perlu melakukannya secara tepat sesuai dengan usia anak.
"Pendidikan seks itu tidak bisa ujug-ujug sudah remaja baru dikasih tahu. Itu semuanya harus terjadinya bertahap," ungkap psikolog anak dan remaja Alzena Masykouri MPsi dalam peluncuran kampanye 1001 Cara Bicara, di Jakarta.
Secara umum, pendidikan seksual untuk anak dapat terbagi menjadi empat tahap. Berikut ini adalah keempat tahap tersebut.
Tahap I
Tahap paling awal dalam pendidikan seksual adalah melakukan pengenalan tubuh kepada anak. Pengenalan tubuh pada bayi, misalnya, bisa dilakukan dengan cara bermain dengan bayi sambil menyebutkan nama anggota tubuh yang ditunjuk. Tahap ini dapat dilakukan hingga anak mencapai usia batita.
Ketika bayi sudah mulai beranjak besar, orang tua juga perlu mengajarkan bagaimana cara merawat tiap-tiap anggota tubuh yang diperkenalkan kepada anak. Misalnya, mengajarkan bahwa rambut harus dibersihkan secara berkala melalui keramas atau membiasakan anak mencuci tangan setelah memegang mainan.
"Tahap ini mengenalkan bagian tubuh dan bagaimana cara merawatnya, termasuk juga organ reproduksi," jelas Alzena.
Tahap II
Tahap kedua adalah memberikan pengetahuan kepada anak mengenai perbedaan tubuh laki-laki dan perempuan. Selain itu, pada tahap ini juga penting bagi orang tua untuk memberi pemahaman mengenai kebersihan tubuh, bagian tubuh pribadi, serta norma agama dan sosial.
Perbedaan mengenai tubuh laki-laki dan perempuan dapat mulai diajarkan ketika anak mencapai usia balita. Ketika anak sudah memasuki usia sekolah orang tua perlu memberikan pemahaman yang baik mengenai bagian tubuh pribadi yang harus dilindungi.
Alezna mengatakan bagian tubuh pribadi yang dimaksud adalah leher sampai lutut, bagian depan dan belakang. Anak perlu memahami bahwa bagian tubuh pribadi ini tidak boleh diperlihatkan dan tidak boleh disentuh oleh orang lain.
"Kecuali oleh ibu, atau oleh peran pengganti ibu. Kalau oleh dokter pun harus dalam ruang praktik (ditemani ibu)," ungkap Alzena.
Selain itu, penting bagi orang tua untuk memerikan pelajaran mengenai norma agama dan sosial terkait pendidikan seksual. Dengan begitu, anak akan terdorong untuk mulai menjaga diri sendiri.
Tahap III
Pendidikan seksual di tahap ketiga berfokus pada memberi pemahaman mengenai batasan dalam pergaulan dan tanda-tanda pubertas. Pemahaman ini boleh dilakukan sejak anak mencapai masa akhir anak-anak menuju pubertas, yaitu sekitar usia 10 tahun ke atas.
Terkait hal ini, orang tua perlu memperbanyak wawasan terkait masalah pubertas dan batasan-batasan dalam pergaulan. Dengan begitu, orang tua dapat memberikan penjelasan yang baik dan tepat kepada anak.
"Mereka sudah harus ada komunikasi pembicaraan dalam batasan pergaulan dan tanda pubertas," kata Alzena.
Tahap IV
Pada tahap keempat, pendidikan seksual lebih berkutat pada batasan dalam pergaulan, tanggung jawab seksual, dan pengendalian diri terkait aktivitas seksual. Tahap ini dapat dilakukan ketika anak sudah mencapai pubertas dan mulai memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis.
Alzena mengatakan, orang tua perlu memberitahu apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam pergaulan. Orang tua tidak boleh lepas tangan dan menyerahkan sepenuhnya peran ini kepada guru di sekolah.
"(Remaja perlu memahami) bahwa mereka punya tanggung jawab terhadap badannya dan mereka juga harus tahu dan bisa mengendalikan diri, termasuk juga mengendalikan gairah seksualnya," jelas Alzena.