REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurut penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Neurolmage, menjadi ibu yang bahagia ternyata dapat menyelaraskan dengan otak bayinya. Dilansir dari Medindia, otak ibu dan bayi akan bekerja sama sebagai mega-jaringan dengan menyingkron gelombang otak mereka saat berinteraksi.
Tingkat konetivitasnya bervariasi sesuai dengan emosi sang ibu. Ketika ibu memiliki emosi positif, konektivitas otak keduanya akan lebih kuat. Hal ini bagus untuk perkembangan otak si bayi.
Untuk melihat sinyal otak ibu dan bayi saat berinteraksi, penelitian ini menggunakan metode yang disebut dual electroencephalograhy (EEG). Peneliti menemukan, ibu dan bayi cenderung menyingkronkan gelombang otak mereka yang dikenal sebagai konektivitas saraf antarpribadi dalam frekuensi 6-9 hertz, kisaran alpha bayi.
Setelah melihat konektivitas saraf antarpribadi dengan metode matematika analisis jaringan, para peneliti melihat bagaimana informasi mengalir di masing-masing otak mereka hingga kedua otak tersebut dioperasikan bersama menjadi sebuah jaringan.
Ibu dan bayi cenderung menghabiskan waktu bersama dalam keadaan emosi positif. Karena itulah, mereka sangat terhubung. Studi ini menemukan, interaksi positif seperti kontak mata, akan meningkatkan kemampuan otak dari keduanya.
"Dari penelitian sebelumnya, kami tahu bahwa ketika hubungan saraf antara ibu dan bayi kuat, bayi lebih reseptif dan siap belajar dari ibu mereka," kata Dr Vicky Leong di Departemen Psikologi Universitas Cambridge, yang memimpin penelitian ini.
"Pada tahap kehidupan ini, otak bayi memiliki kemampuan untuk berubah secara signifikan. Dan, perubahan ini didorong oleh pengalaman bayi,’’ katanya. ‘’Dengan menggunakan emosi positif selama interaksi sosial, orang tua dapat terhubung dengan lebih baik dengan bayi mereka dan merangsang perkembangan mereka.’’
Hasil penelitian juga menunjukkan, bayi dari ibu yang depresi akan sulit belajar dari sang ibu karena koneksi saraf mereka lemah. Ibu yang depresi ini cenderung akan kurang berinteraksi dengan bayinya. Nada bicara akan datar, kontak mata lebih sedikit, dan respon saat bayi minta perhatian.
"Emosi kita benar-benar mengubah cara otak kita berbagi informasi dengan orang lain. Dan, emosi positif membantu kita berkomunikasi dengan cara yang jauh lebih efisien," kata Dr Leong.
Leong menambahkan, depresi dapat memiliki efek negatif yang kuat pada kemampuan orang tua untuk membangun koneksi dengan bayi mereka. Semua isyarat sosial yang biasanya menumbuhkan koneksi, kurang tersedia untuk anak. Sehingga, anak akhirnya tidak menerima input emosional optimal yang dibutuhkan untuk berkembang.
Komunikasi emosional antara orang tua dan anak-anak mereka sangat penting selama awal kehidupan, namun sedikit yang diketahui tentang dasar-dasar sarafnya. Ini adalah studi pencitraan otak pertama dari dua individu yang terkait untuk menyelidiki apa dan bagaimana konektivitas saraf interpersonal bayi dengan ibu mereka dipengaruhi oleh kualitas emosional interaksi sosial mereka.
Sebagai makhluk sosial, manusia memang cenderung berbagi keadaan emosionalnya kepada orang lain. Melalui penelitian ini, peneliti menemukan hubungan antarindividu pada tingkat saraf. Hal ini juga berlaku bagi banyak jenis afiliasi, seperti antarpasangan, teman dekat, saudara kandung atau setiap orang yang selaras.
Kekuatan efeknya mungkin tergantung pada seberapa baik kedua orang tersebut saling mengenal dan tingkat kepercayaan di antara mereka.