REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaku perisakan usia sekolah atau remaja kerap dicap buruk usai melakukan aksinya. Tidak sedikit yang langsung dikeluarkan dari sekolah. Psikolog Ratna Djuwita beranggapan, keputusan tersebut kurang tepat.
"Memang perlu ada konsekuensi, tapi mengeluarkan siswa yang masih membutuhkan pendidikan dan pembinaan, sebetulnya tidak bijak. Masalah tidak selesai, hanya memindahkan, karena pasti orang tua mencari tempat lain dengan cara apapun," ungkap pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu.
Ratna menganjurkan, ada konsekuensi bertahap. Hukuman bergantung pada level perisakan serta dampak yang ditimbulkan, apakah bentuk perisakan berupa fisik, verbal, atau psikologis.
Misalnya, peringatan pertama untuk kasus perisakan yang relatif ringan di mana korban masih mau memaafkan. Konsekuensi selanjutnya untuk perisakan dengan kadar lebih berat, sekolah bisa memberlakukan hukuman skors.
Apabila perilaku perisakan memang sudah mencapai titik tertinggi, barulah mau tak mau siswa harus dikeluarkan. Semua tingkatan konsekuensi itu pun sebaiknya dikomunikasikan sebelumnya dengan orang tua murid.
Mengurai kasus perisakan di sekolah tidak sekadar melakukan penanganan terhadap korban serta pelaku. Seluruh budaya sekolah harus mendukung. Berbagai penelitian di luar negeri mengungkap bahwa fokus perubahan ada pada "penonton".
Mereka yang dikategorikan dalam kelompok "penonton" bisa jadi siswa lain, guru, satpam, bahkan pedagang sekitar sekolah yang mengetahui perisakan tapi tak berbuat apa-apa. Apabila perisakan selalu didiamkan, pelakunya justru mendapat angin.
Ratna membagikan tips bagi orang tua yang anaknya kedapatan melakukan perisakan. Permintaan maaf memang perlu disampaikan bersama kepada korban, tetapi ada tindak lanjut lain yang lebih signifikan untuk pencegahan di masa depan.
Orang tua perlu bekerja sama dengan pihak sekolah dalam penanganan anak. Bagaimanapun, mereka perlu tahu apa yang mengganggu anaknya sehingga berperilaku demikian. Pada beberapa kasus, orang tua tidak menyangka karena merasa tidak pernah memberi contoh kekerasan.
"Sebaiknya orang tua ikut di beberapa sesi konseling anak. Harus sama-sama belajar, melakukan introspeksi," kata Ratna yang merampungkan studi S3 di Bidang Studi Psikologi Sosial Fakultas Psikologi UI.