Kamis 04 May 2017 16:41 WIB

Menpar: Wisata Bernilai Religi Lebih Abadi

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Winda Destiana Putri
Peserta mendengarkan paparan Menteri Pariwisata Arief Yahya pada Rembuk Republik Memaksimalkan Industri Wisata Halal Indonesia
Foto: Republika/Fuji EP
Peserta mendengarkan paparan Menteri Pariwisata Arief Yahya pada Rembuk Republik Memaksimalkan Industri Wisata Halal Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pariwisata menyebut wisata bernilai religi lebih abadi. Meski begitu, dari sisi bisnis, wisata bernilai religi tetap butuh kuantifikasi dan sinergi dengan ilmu bisnis.

Dalam paparan membuka Rembuk Republik di Balairung Soesilo Soedarman Kementerian Pariwisata, Kamis (4/5), Menteri Pariwisata Arief Yahya menjelaskan, wisata bernilai religi lebih abadi. Wisata juga soal nilai. Yang dijual tidak hanya produk dan proses, tapi juga nilai. Sebut saja Bali yang wisatanya berpegang pada nilai spiritual untuk baik pada Tuhan, manusia, dan alam.

Wisata halal atau wisata ramah Muslim juga bisa demikian. Islam punya konsep habluminallah, habluminannas, dan rahmatan lil 'alamin.

Berhasil naik satu peringkat dalam Global Muslim Travel Index (GMTI) 2017, Indonesia berhasil masuk di posisi ke tiga dari posisi empat, Arief yakin Indonesia bisa melampaui Malaysia dan UEA yang kini di peringkat dua teratas. Tapi, Indonesia masih punya pekerjaan rumah.

''Kekuatan yang jadi kelemahan kita adalah halal. Kita yakin halal tapi tidak mau sertifikasi, padahal itu daya tarik konsumen,'' ungkap Arief.

Dengan pasar besar, berkelanjutan, dan menjanjikan profit wisata halal tidak bisa Indonesia hindarkan. Apalagi, orang Indonesia memang ramah terhadap tamu.

Untuk benar-benah bisa meraih potongan besar pasar ini, Indonesia harus benar-benar menyiapkan wisata halal. Panduan industri wisata halal dunia seperti GMTI bisa jadi acuan Indonesia untuk benahi wisata halal. Semua PR wisata halal Indonesia termasuk infrastruktur, kebersihan dan higienitas, harus bisa dikuantifikasi sehingga arah perbaikannya jelas.

Indonesia sedang fokus meningkatkan serapan pasar lebih inklusif, termasuk menggunakan terma wisata ramah Muslim. ''Beda keuangan beda wisata. Kata syariah sensitif di wisata. Begitu jadi ramah, jadi gaya hidup,'' kata Arief.

Indonesia juga tengah memperluas penetrasi berdasarkan geografis. Wisata mirip komunikasi dan transportasi dimana pengunanya melakukan itu karena kedekatan (proximity).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement