Jumat 31 Jan 2020 04:40 WIB

Tingkatkan Produktivitas Kopi, Pengusaha Dorong Replanting

90 persen petani kopi di Indonesia adalah petani kecil dengan skala lahan yang sempit

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Dwi Murdaningsih
Petani menjemur kopi arabika yang baru dipanen di tepi danau Laut Tawar, Aceh Tengah, Aceh, Ahad (19/1/2020).
Foto: Antara/Irwansyah Putra
Petani menjemur kopi arabika yang baru dipanen di tepi danau Laut Tawar, Aceh Tengah, Aceh, Ahad (19/1/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Pengurus Sustainable Coffee Platform of Indonesia (SCOPI) Irvan Helmi mengatakan sekitar 96 persen produksi kopi di Indonesia berasal dari perkebunan yang dimiliki oleh petani. Hanya saja produktivitasnya masih rendah yaitu berkisar 700 kilogram (kg) per hektar (ha).

Ia menyebutkan, rendahnya produktivitas ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Di antaranya minimnya akses ke pengetahuan untuk melakukan Good Agricultural Practices (GAP), penanganan pascapanen, akses ke pasar, dan akses ke pembiayaan.

"Tantangan terbesar peningkatan produktivitas kopi Indonesia saat ini berada di bagian hulu, di mana hampir 50 persen pohon kopi di Indonesia sudah mencapai usia 50 tahun ke atas dan tergolong tidak produktif. Maka diperlukan kegiatan replanting atau penanaman kembali," kata Irvan dalam diskusi kopi yang diselenggarakan SCOPI di Jakarta, Kamis, (30/1).

Lahan perkebunan kopi di Indonesia, menurutnya, lebih luas dari Vietnam. Hanya saja dari segi produktivitas, kopi Indonesia masih di bawah Vietnam.

"Apa yang salah? Hampir keseluruhan tanaman kopi kita sudah tua dan sudah tidak produktif. Program replanting ini merupakan langkah yang tepat untuk meningkatkan produktivitas kopi kita di masa yang akan datang," jelasnya.

Sementara Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyatakan, kementerian berupaya menjadikan koperasi sebagai pusat bisnis komoditi kopi. Maka, petani kopi perorangan akan dikonsolidasi ke lembaga koperasi untuk mengatasi berbagai kendala yang dihadapi petani.

"Sekitar 90 persen petani kopi di Indonesia adalah petani kecil dengan skala lahan yang sempit. Jadi perlu mengonsolidasi petani dari petani perorangan ke dalam koperasi," katanya pada kesempatan serupa.

Menurutnya dengan mengonsolidasi petani ke wadah koperasi, lahan milik petani pun ikut dikonsolidasi. Kemudian dilakukan pula konsolidasi pola tanam yang baik,  konsolidasi sumber daya di pemerintahan, dan konsolidasi pembiayaan.

Berbagai konsolidasi tersebut diyakini mendorong peningkatan produktivitas kopi. Sekaligus memperkuat posisi tawar petani.

Ia menuturkan, koperasi petani yang dibentuk harus memenuhi skala ekonomi sebagai sentra bisnis dengan luas minimum 100 hektar (ha) yang akan berperan dari hulu ke hilir. Setiap koperasi juga akan memiliki pengolahan dari cherry bean ke green bean.

Dalam hal ini, koperasi berperan menjalin kemitraan dengan berbagai pihak untuk mewujudkan model bisnis koperasi. Di antaranya kemitraan dengan lembaga pembiayaan, swasta, serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai off taker

"Koperasi membangun kerja sama dengan off taker. Off taker juga sejak awal bantu pembiayaan," jelas Teten.

Melalui pola kemitraan ini, kata dia, petani hanya fokus bertanam kopi. Lalu proses bisnis seluruhnya dikerjakan koperasi, termasuk menjaga mutu lewat pendampingan.

Teten mengatakan melalui model bisnis kemitraan ini nantinya terbangun ekosistem kopi yang lebih baik. Dengan begitu akan mendorong kesejahteraan petani serta menjaga kualitas kopi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement