REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syarifuddin Sardar (@broSyarif)
Dalam suatu kesempatan, Perdana Mentri India, Indira Gandhi menyampaikan pesan dari kakeknya, Mahatma Gandhi: “My grand father once told me that there were two kinds of people: those who do the work and those who take the credit. He told me try to be in the first group. There’s much less competition.”
Kita sebagai pemimpin yang merintis atau melanjutkan bisnis keluarga, pada posisi salah satu dari dua status tersebut, kita akan berhadapan dengan meleburnya nilai keluarga dengan keluarga lain.
Peluang terjadi peleburan nilai-nilai keluarga menjadi keharusan saat pernikahan seseorang dengan kekasih. Menyatunya dua keluarga bisa menjadi tantangan untuk masing-masing pihak menjembatani dan memberikan kepada masing-masing kelompok keluarga. Akan lebih menantang, bila hal ini terjadi pada pernikahan antara dua keluarga dengan kultur dan etnis yang berbeda.
Menemukan nilai keluarga
Merajut benang kasih yang dianyam membutuhkan waktu untuk menghasilkan selembar kain dengan corak dan warna yang menarik. Diperlukan pengetahun karakter setiap pasangan dan menyadari nilai-nilai keluarga untuk terwujudnya keserasian.
Keluarga dengan bisnis yang dikelola menerima pelajaran tentang peran siapa dan apa saja nilai-nilai yang ada pada keluarga. Pelajaran itu biasa didapat di dalam bisnis keluarga melalui pengalaman menyusun strategi bisnis yang umumnya memerlukan jawaban visi, misi, dan nilai-nilai perusahaan.
Cerminan nilai-nilai dapat memberikan pengalaman keluarga dalam mengelola komunikasi serta memecahkan masalah dengan solusi efektif.
Umumnya, gaya professional perusahaan membiasakan entitas bisnis keluarga berkomunikasi dan bertingkahlaku baik.
Tidak menutup kemungkinan bisnis keluarga dapat mengkerdikan etika dalam tingkah laku entitasnya bila aturan yang ada tidak bagus. Hal ini malah dapat menciptakan organisasi bisnis yang sadis dalam memperlakukan pasangan.
Pemilihan pasangan keluarga dengan latar belakan bisnis keluarga yang baik akan menentukan calon besan dan menantu yang memiliki kemiripan nilai-nilai keluaga.
Selanjutnya, paska pernikahan sejoli akan menentukan tempat tinggal yang terpisah atau bersama dengan keluarga (nucleus vs. joined family residence) orang tua serta ipar.
Pada salah satu pilihan, tantangan beradaptasi menyertai dan menentukan kesuksesan serta kelanggengan visi dan misi bisnis.
Namun tidak demikian bila kita sebagai perintis atau pendiri bisnis, di mana saling keterbukaan mengkomunikasikan inisiatif menjadi modal berdirinya bisnis keluarga.
Marvin Power, yang selama bertahun-tahun menjadi direktur Mc Kinsey & Company dan juga penulis buku “The Will to Manage”, mendiskripsikan budaya perusahaan memiliki pengaruh yang kuat bagi organisasi dan menentukan hampir semua kebijakan perusahaan seperti siapa yang pantas dipromosikan, putusan apa yang harus diambil, bagaimana seharusnya penampilan karyawan, dsb.
Nilai-nilai, yang dianut perusahaan untuk menjaga harmonisasi antara anggota keluarga, menjadi penyelamat di kala krisis, dan memegang peran penting dalam membangun tata kelola keluarga (corporate and family governance).
Penelitian yang dilakukan oleh Center for Family Business Studies menunjukan bahwa perusahaan keluarga yang memegang nilai kuat yang ditanamkan oleh pendirilah yang mampu bertahan sampai dengan generasi kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.
Tentu saja, nilai-nilai ini dapat berevolusi sesuai dengan perkembangan perusahaan. Jika hal ini (evolusi) terjadi, setiap pasangan suami & istri perlu membuat konsensi bersama mengenai nilai-nilai inti yang disepakati agar sustainabilitas keluarga dan perusahaan dapat tetap terjaga.
Mempertahankan Hubungan Keluarga
Minimnya organisasi/lembaga, yang bekerja memperkuat hubungan keluarga dengan layanan konsultasi, latihan serta konseling, mengakibatkan seringnya keputusan perceraian timbul di tengah-tengah keluarga.
Bisnis keluarga dapat menjadi media pencegah dan mengurangi keputusan perceraian, namun tidak juga dapat dinafikan malah justru menjadi sebab munculnya disharmonisasi keluarga.
Para stakeholder bisnis keluarga seharusnya mempelajari munculnya disharmonisasi dalam keluarga secara parallel sambil menjalankan bisnisnya, maka dengan bekal pelajaran-pelajaran yang didapat para stakeholder dapat mencegah konflik penyebab disharmoni hubungan keluarga.
Salah satu masalah penyebab kedisharmonisan keluarga adalah dispute over ownership (cekcok masalah kepemilikian). Di Inggris, banyak perusahaan yang dimiliki suami-istri.
Pasangan yang menikah memuai bisnis bersama, beberapa di antaranya meraih kesuksesan. Pada akhirnya pernikahan seperti bisnis, dapat mengalami keadaan-keadaan sulit.
Sewaktu-waktu bisnis itu menyebabkan perceraian pada pasangan yang tidak mau bekerjasama. Ini menjadi masalah serius.
Dengan tindakan pencegahan pada sistem, bisnis keluarga akan tercipta hubungan pribadi yang lebih kuat. Kedisiplinan dalam bisnis konvensional umumnya dapat menjauhkan seseorang dari keluarga. Bisnis keluarga dengan kedisiplinan tinggi memperluas peluang kedekatan hubungan antara anggota keluarga yang akan menjadi teladan baik bagi karyawan.