REPUBLIKA.CO.ID, Reksadana memiliki perkembangan yang relatif pesat di Indonesia, jenis investasi ini sangat sesuai bagi investor yang memiliki keterbatasan, baik dana, waktu dan informasi maupun pengetahuan tentang investasi. Reksadana mempunyai risiko tetapi instrumen ini tergolong mempunyai risiko yang cukup rendah karena pada reksadana, investasi tidak ditempatkan hanya pada 1 aset, tetapi banyak aset dengan risiko berbeda yang membentuk suatu portfolio.
Dana yang diinvestasikan pada reksadana biasanya dikelola oleh Manajer Investasi (MI). Fasilitas ini dapat menguntungkan serta merugikan, ini akan bermanfaat karena Anda tidak perlu kerepotan menganalisa serta mengelola portfolio. Tetapi kerugiannya terkadang ada beberapa tips yang diberikan oleh MI yang dapat menyesatkan. Beberapa contoh saran keliru yang biasa diberikan untuk konsumen adalah sebagai berikut.
Belilah ketika masih murah
‘Harga’ reksa dana dinilai melalui NAB/unit yang mana NAB adalah singkatan dari Nilai Aktiva Bersih (Net Asset Value). ‘Harga’ ini merupakan tolak ukur suatu investasi pada reksadana dan merupakan ‘harga’ yang telah dikurangi biaya operasional per jumlah saham atau unit penyertaan yang dimiliki investor.
Tolak ukur ini sering dijadikan pemasar reksadana sebagai perbandingan antar satu reksa dana dengan yang lainnya. Padahal, ‘harga’ ini hanya dapat dibandingkan dalam periode yang sama.
Setiap reksadana memiliki tolak ukur yang sama pada saat diluncurkan, yaitu Rp 1.000, ketika ‘harga’ reksadana naik menjadi Rp 15.000, ini berarti reksadana telah bertumbuh 15 kali lipat dari saat peluncuran, berikut juga dengan ‘harga’ Rp 5.000. Periode yang dibutuhkan untuk kenaikan ini juga berbeda, misalkan reksa dana dengan ‘harga’ Rp 15.000 telah meluncur dari 5 tahun yang lalu, dan Rp 5.000 baru saja diluncurkan 2 tahun yang lalu.
Perbandingan yang dilakukan tanpa mempertimbangkan periode peluncuran adalah cara yang keliru. Untuk mengetahui reksadana mana yang mengalami pertumbuhan lebih tinggi, Anda harus membandingkannya dalam periode yang sama dan bukan secara harfiah reksadana A lebih ‘mahal’ dibandingkan reksadana B.
Artikel ini merupakan kerjasama antara Republika.co.id dengan Cermati.com, portal pembanding produk keuangan Indonesia