REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Anak-anak muda bisa melawan perundungan dengan bersikap cuek ketika menerima perundungan dari teman. Demikian diungkapkan oleh psikolog klinis anak Violetta Hasan Noor.
"Kalau kita merasa tersakiti, depresi, maka pelaku perundungan akan merasa makin berkuasa dan makin besar perbuatannya. Tapi kalau kita cuek saja, mereka akan merasa kalah karena tidak ada respons dari kita," katanya pada Rabu (10/4).
Masalah perundungan pada anak kembali menjadi sorotan nasional setelah kasus yang menimpa seorang siswi Sekolah Menengah Pertama di Pontianak, Kalimantan Barat. Peristiwa yang menimpa Audrey, korban penganiayaan belasan murid SMA, menyebar luas di dunia maya dan membuat tagar #justiceforAudrey menjadi topik bahasan utama dalam dua hari terakhir.
Menurut Violetta, kecenderungan anak muda gampang marah dan emosi serta bersikap agresif tidak lepas dari lemahnya peran orang tua dalam menanamkan nilai-nilai luhur sejak dini. Orang tua zaman sekarang umumnya terlalu sibuk dengan dunia kerja. Akibatnya orang tua kurang meluangkan waktu untuk memperhatikan anak serta mengajarkan nilai-nilai empati, gotong royong, dan toleransi.
Violetta menilai dalam kasus perundungan murid sekolah di Pontianak, pelaku perundungan juga bisa dikategorikan sebagai korban. Pelaku dapat bertindak demikian karena orang tua lalai dalam mendidik dan mengawasi mereka.
Violetta menekankan dalam hati kecil pelaku perundungan sebenarnya membutuhkan perhatian dan sentuhan kasih sayang. Mungkin mereka tidak mendapatkannya dari orangtua dan orang-orang sekitarnya.
Menurut dia, pelaku perundungan melakukan aksinya karena ingin merasa punya kuasa ketika melihat orang lain lemah di hadapannya. Pelaku melakukan itu untuk mengisi kehampaan dan mengatasi ketidakpuasan yang muncul karena kekurangan kasih sayang.
"Yang dicari dari perilaku perundungan adalah power (sifat berkuasa), ketika dapat maka akan lakukan itu terus karena orang lain lemah," katanya.
Violetta menilai banyaknya kasus perundungan di sekolah bukan berarti sumber permasalahan itu berasal dari institusi pendidikan. Pangkal masalah sesungguhnya ada di rumah dan lingkungan tempat anak tinggal dan sekolah menjadi media penyaluran agresi anak.
"Kasus perundungan banyak di sekolah. Tapi awal mula bukan di sekolah intinya. Sekolah hanya jadi media penyaluran karena itu tempat anak bersosialisasi lebih luas," ujarnya.