Ahad 15 Dec 2019 09:20 WIB

Beban Kerja Menggunung, Mundur Kerja Jadi Solusi?

Minat dan passionitu menentukan ketangguhan seorang karyawan dalam bekerja.

Pekerjaan menggunung. (ilustrasi)
Foto: Google
Pekerjaan menggunung. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Beban pekerjaan yang dirasa berat tentu akan memicu stres dan ketidaknyamanan bagi karyawan. Apalagi, beban kerja yang berat itu dinilai tidak sepadan dengan penghasilan yang didapat. Jika sudah tidak tahan dengan keadaan tersebut, umumnya akan memicu keinginan karyawan untuk mundur dan mencari pekerjaan baru. Lalu, wajarkah hal itu terjadi?

Psikolog dari Universitas Indonesia Rose Mini Agoes Salim mengatakan bahwa penilaian beban kerja apakah berlebihan atau tidak cenderung subjektif dan sangat bergantung pada persepsi masing-masing karyawan. Umpamanya, suatu pekerjaan atau proyek, bisa jadi dianggap sebagai tantangan oleh karyawan A, namun bisa dianggap beban oleh karyawan B.

Baca Juga

Persoalan ini, menurut Rose, erat kaitannya dengan minat dan passion dari orang tersebut. Karena minat dan passionitu menentukan ketangguhan seorang karyawan dalam bekerja.

Jadi, kalau dia punya minat yang besar dan bekerja sesuai passion, apa pun bentuk pekerjaannya tidak akan bermasalah bagi dia. Misalnya, begini, kita suruh orang mengajar di daerah Indonesia Timur, orang tertentu yang tidak punya jiwa petualang pasti seperti mau bunuh diri ditugaskan di sana. Tapi, bagi orang yang senang berpetualang itu akan menjadi suatu tantangan tersendiri, kata Rose saat dihubungi Republika, beberapa waktu lalu.

Menurut Rose, berbagai permasalahan di tempat kerja itu juga dipicu oleh buruknya perencanaan karier seseorang. Idealnya persoalan karier sudah dikenalkan sejak dini, misalnya, ketika seseorang duduk di bangku sekolah dasar (SD) atau sekolah menengah pertama (SMP).Apalagi, di era revolusi industri 4.0 akan banyak pekerjaan baru yang belum terprediksi saat ini, sehingga perencanaan karier yang menunjang zaman sangat diperlukan.

Selama ini, kata Rose, mayoritas orang melakukan perencanaan karier menjelang lulus kuliah atau bahkan setelah lulus kuliah. Alhasil, dia tidak memiliki gambaran utuh tentang karier impiannya.

Bahkan, ada juga orang yang tidak melakukan perencanaan karier.Mereka cenderung berpedoman pada istilah yang penting dapat kerja, sehing ga dia tidak memikirkan perusahaan apa yang dilamar, bagaimana masa depan di perusa haan tersebut dan lainnya, ungkap Rose.

Untuk itu, dia mendorong para guru untuk lebih proaktif dalam membangun perencanaan karier siswa. Caranya sederhana, guru-guru di sekolah dasar bisa mulai mengenalkan berbagai profesi baru yang diprediksi akan muncul di masa yang akan datang saat anak-anak dewasa. Adapun ketika menginjak SMP, guru harus mendukung semua bakat siswa baik itu bakat seni, olahraga, film, melukis, dan lain-lain.

Sosiolog Roby Muhammad juga menilai bahwa kesan `kerja rodi' tidak akan terjadi jika pekerjaan itu sesuai dengan minat seseorang. Jika sesuai dengan minat, karier yang tengah dijalani akan ditujukan untuk terus menggali makna, dampak, dan pengalaman baru. Jika begiitu maka seberat apa pun pekerjaan yang tengah dijalani tidak akan terasa sedang `kerja rodi'.

Untuk bisa enjoy berkarier di sebuah perusahaan atau pekerjaan kita harus memiliki makna dan menghasilkan impact. Jika kedua itu terpenuhi ya tidak ada istilah kerja rodi itu, kata Roby yang juga menjadi staf pengajar di Fakultas Psikologi Univeritas Indonesia.

Dia juga berpesan, khususnya kepada para milenial untuk tidak menomorsatukan gaji ketika memulai pekerjaan pertamanya. Yang perlu diperhatikan adalah memperbanyak dan memperkuat kemampuan serta kreativitas.Jadilah seorang ahli, pakar dalam bidang tertentu. "Dan di awal karier ibarat mangga muda; dimakan masih asam, dibuang sayang," kata dia. (gumanti awaliyah/santi sopia, ed: endah hapsari)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement