SEMARANG--Peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Noor Aini Prasetyawati, mengatakan Suriname, sebuah negara yang ada di Amerika Latin, adalah etalase pariwisata bagi Indonesia. "Suriname selama ini sering menjadi referensi masyarakat Amerika, Eropa, dan sekitarnya yang ingin mengenal Indonesia," katanya usai diskusi "Melihat Suriname, Melihat Jawa di Amerika Latin" di Semarang, Senin.
Menurut dia, Suriname adalah negara yang berpenduduk sekitar 500 ribu orang, namun 15 persennya atau sekitar 75 ribu orang merupakan keturunan Jawa yang masih melestarikan kebudayaan nenek moyangnya.
"Beberapa kebudayaan di Suriname memiliki kesamaan dengan kebudayaan Jawa, seperti kesenian jathilan dan ludruk yang berubah nama menjadi kabaret, hingga makanan khasnya, seperti nasi goreng," katanya.
Hal tersebut sebenarnya potensi yang harus ditangkap pemerintah Indonesia, lanjutnya, misalnya dengan mengajak kerja sama, apalagi India dan China telah membangun sejumlah infrastruktur di negara tersebut.
Ia mengatakan penduduk Suriname keturunan Jawa berasal dari penduduk asli Jawa yang dibawa ke Suriname sekitar tahun 1890 dan 1939 oleh Belanda untuk dipekerjakan sebagai kuli kontrak di negara tersebut.
Para penduduk asli Jawa itu, kata dia, memang bukan penduduk asing pertama yang didatangkan ke Suriname untuk dipekerjakan, sebab ada juga penduduk yang berasal dari India, China, dan Afrika. "Hal yang menjadi refleksi, penduduk asli Jawa itu tetap mempertahankan kebudayaan nenek moyangnya hingga sekarang, meskipun terpisah jarak dan waktu yang sangat lama dengan negara asalnya," katanya.
Ia mengakui kebudayaan Jawa yang berkembang di Suriname hasil persepsi masyarakat, namun patut dimaklumi karena faktor jarak dan waktu, apalagi masyarakat Jawa di Suriname berasal dari berbagai daerah.
"Ada penduduk yang berasal dari Trenggalek, Kediri (Jawa Timur), Yogyakarta, ada juga dari Sunda, sehingga kebudayaan bercampur dan mereka juga tidak mempergunakan bahasa Jawa sesuai tingkatan strata," katanya.
Menurut dia, mayoritas masyarakat keturunan Jawa di Suriname menggunakan bahasa Jawa ngoko untuk berkomunikasi dan tidak membedakan tingkatan bahasa, seperti krama inggil, krama madya, dan ngoko. "Keunikan Suriname itu ternyata belum banyak diteliti, sehingga kami tertarik datang ke sana (Suriname, red.) untuk menelitinya," kata Aini yang berencana meneliti bersama Marciano Dasai, mahasiswa UGM yang berasal dari Suriname.
Aini mengaku masih mengumpulkan dana untuk membiayai penelitiannya yang direncanakan Agustus 2010, termasuk lewat diskusi diskusi yang diselenggarakan di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang itu.
"Kami tertarik fenomena masyarakat keturunan Jawa di Suriname yang masih melestarikan kebudayaan Jawa, padahal di sisi lain banyak masyarakat Jawa di Indonesia yang lupa kebudayaan nenek moyang," katanya.
Dalam kesempatan itu juga dipamerkan puluhan foto kehidupan masyarakat keturunan Jawa di Suriname yang didapatkan mahasiswa S-2 antropologi UGM itu dari berbagai sumber, termasuk fotografer dari Suriname. Dari foto-foto yang dipamerkan pada 3-6 Mei 2010 itu, di antaranya "Kenduren" yang menggambarkan acara selamatan seperti halnya di Jawa dan "Nikah Jawa-Hindustan" tentang adat perkawinan Jawa bercampur India.