REPUBLIKA.CO.ID, BANJARMASIN--Sang fajar belum lagi muncul di ufuk timur. Saya dan sejumlah teman wartawan, dengan kan tuk tertahan memulai petualangan kami pagi itu. Kami rehat sejenak dari kesibukan meliput acara Lawatan Sejarah Nasional (Lasenas) VIII yang digagas Departemen Pariwisata dan Kebudayaan (Depbudpar) RI di bumi Lambung Mangkurat itu. Satu misi kami yang mesti disudahi, menyusuri Sungai Barito, Kalimantan Selatan.
Kami mengendarai mobil sekitar satu setengah jam dari penginapan di Kota Banjarbaru. Tujuan kami, dermaga pasar terapung di Muara Kuin, Banjarmasin. Bersyukur kami menemukan tempat rental mobil murah sehingga tak perlu repot menyetop angkutan umum. Lagi pula, mana ada kendaraan umum yang melintas pukul 03.00 WITA, dini hari. Burung saja belum bangun.
Kami sampai di dermaga pukul 04.00 WITA. Perjalanan kami lebih cepat dari perkiraan karena jalanan memang sepi sehingga tidak ada hambatan. Rumah-rumah masih belum menampakkan kesibukan. Hanya beberapa orang pria yang sedang bersiap-siap mendatangi masjid, menjelang azan Subuh berkumandang.
Kami menuju ke pinggir dermaga, tetapi tak ada aktivitas di sana. Tak ada kapal yang lewat. Kami sempat sangsi bakal ada Pasar Terapung hari ini. Kapal-kapal masih tertambat. Hanya ada seorang lelaki sedang asyik merokok di teras rumahnya yang menghadap ke sungai.
"Pasar terapungnya buka hari ini Pak?'' tanya kami dengan polos. "Pasti, setiap hari buka, tapi setelah shalat Subuh,'' ujarnya. Kami sedikit bingung. Sebab, informasi yang kami terima, pasar terapung dibuka sejak pukul tiga pagi. Kami terpaksa menunggu. Duduk di pinggiran dermaga sambil menikmati dingin dan sepoinya angin Sungai Barito. Sedikit terkantuk karena kami memang kurang tidur.
Azan Subuh menyadarkan kami. Bergegas kami menyambangi masjid dekat dermaga. Beruntung ada sejumlah mukena bersih untuk saya pakai. Ada kenikmatan yang berbeda saat melaksanakan shalat Subuh di masjid berarsitektur khas Banjar itu. Pintupintunya tanpa engsel, dindingnya dihiasi ukiran aneka bunga khas Banjar. Tentu saja, ditambah dengan suarasuara orang yang saling berbincang dengan bahasa Banjar.
Selesai shalat, kami kembali ke dermaga. Sudah ada seorang penarik perahu motor di sana. Kami menyewa jasanya. Namun, kami agak terperangah dengan harga sewa yang ditetapkannya. Dua ratus ribu untuk satu perahu. Padahal, harga pasarannya hanya tujuh puluh ribu.
Mungkin karena saat itu sang penarik perahu tak punya saingan. Boleh jadi pula, karena kami tidak menawar dengan bahasa Banjar sehingga dia bisa mematok harga sesukanya. Mungkin akan lain ceritanya bila kami membawa seorang teman yang bisa menawar dalam bahasan Banjar. Namun, karena tak ada pilihan, akhirnya kami menumpang di kapalnya.
Kapal motor itu pun menderu, membawa kami mengarungi Barito. Pasar terapung ditempuh 10 menit dari dermaga. Untungnya, saat itu bukan musim eceng gondok sehingga tidak ada gangguan saat mengarungi Barito. Biasanya, saat musim hujan pada Desember dan Januari, eceng gondok menutupi sungai. Ini karena di hulu sungai banjir dan kawasan sungai di daerah Kuin kebagian limpahan eceng gondok. Kalau sudah begitu, bakal sulit meng arungi sungai. Bila tak hati-hati, eceng gondok bisa tersangkut di baling-baling kapal dan membuat mesin kapal rusak.
Saat itu masih sangat gelap, tak banyak yang bisa dilihat. Mata kami hanya menangkap cahaya saat melewati gudang-gudang kayu. Memang banyak tempat seperti itu di sepanjang Sungai Barito. Dahulu, sungai ini digunakan untuk menghanyutkan kayu yang sudah ditebang dari hutan. Namun, kini kayu-kayu itu tidak lagi dihanyutkan, tetapi diangkut dengan kapal.
Di suatu titik, penarik kapal mematikan mesin kapalnya. Kapal dibiarkan mengambang tak tentu arah. Saya bertanya-tanya apa alasannya. Saya baru sadar setelah sejumlah jukung atau perahu tanpa motor mendekati kami.
Sang pemilik jukung memburu kami dari berbagai arah. "Wadai...wadai, sayur-sayur,'' teriaknya.
Seorang pedagang bernama Zainuddin dengan gigih memburu kami. Menawarkan wadai atau kue dalam bahasa Banjar. Jenisnya hampir sama dengan kue-kue yang ditemukan di daerah lain. Saya membeli tiga potong donat dan satu minuman kemasan. Lumayan untuk mengganjal perut karena belum sarapan.
"Saya sudah lama berjualan di sini,'' ungkap Zainuddin dengan logat Banjar yang kurang saya mengerti. Dia juga bilang, sejak kecil ikut ayahnya berjualan di pasar terapung Kuin. "Setiap hari saya mulai berdagang sehabis shalat Subuh,'' kata pria yang sudah berumur kepala enam itu.
Zainuddin lalu mengizinkan saya mengambil kodak-nya. Begitu istilah mereka untuk menyebut foto. Sebagian pedagang malah merasa risi diambil fotonya. Seorang ibu penarik jukung mendekati kami dan meminta dagangannya dibeli karena sudah dipotret sebelumnya. "Kan sudah di kodak, belilah nak," katanya. Si ibu itu kemudian pergi dengan ngomel-ngomel karena kami tidak membeli apa pun darinya.
Pasar terapung sudah ada sejak 1526, saat Sultan Suriyansah mendirikan kerajaan di tepi Sungai Kuin. Kerajaan tersebut pada akhirnya menjadi cikal bakal Kota Banjarmasin. Di tepian sungai ini pula, pusat perdagangan tradisional mulai berkembang. Para pedagang dan pembeli berinteraksi dengan menggunakan jukung sejak pukul 04.00 sampai 07.00 pagi.
Para pedagang wanita yang berperahu disebut dengan dukuh. Mereka menjual hasil hutan atau kebun masyarakat di pedalaman, seperti jeruk, pepaya, pisang, kelapa, dan sebagainya, termasuk ikan-ikan hasil tangkapan para nelayan setempat. Sedangkan mereka yang membeli dari para dukuh untuk dijual kembali disebut panyambangan.
Meski sudah mengenal alat tukar uang, masih ada pedagang yang bertransaksi secara barter. Pedagang semacam ini disebut bapanduk.