REPUBLIKA.CO.ID, Kami menunggu matahari terbit, tapi tertutup oleh bukit, Jumat (13/5) pagi itu. Hamparan sawah di belakang rumah Sekdes Mapahi beserta matahari yang menyembul di balik bukit, membuat saya betah menatapnya.
Bayangan saya melayang jauh ke awal abad ke-20, pada gambaran yang dibuat Paul Sarasin dan Fritz Sarasin di buku Reisen in Celebes yang diterbitkan pada 1905. Saat itu hawa dingin masih terasa dan lereng Gunung Ntoriate masih berselimut kabut, tapi suara pukulan fuya yang bersahutan seperti yang digambarkan duo Sarasin tak terdengar.
Ketika berkunjung ke wilayah Pipikoro-Kulawi, duo Sarasin membuat gambaran seperti ini di bukunya: Hawa dingin merebak. Kabut menyelimuti sekitar, mengawali hari yang sangat indah. Kami sekarang berada di tanah budaya Bada, dengan desa-desa yang tersebar. Riuh pukulan fuya dari segala penjuru terdengar lucu, menjadi ciri khas Tanah Toraja, mengingatkan pada suasana di Polinesia.
Fuya adalah sebutan untuk kain kulit kayu, yang di Pipikoro-Kulawi disebut kumpe. Agar menjadi kain, kulit kayu dipukul-pukul di atas haa, memunculkan bunyi tung tung, bersahutan dari tempat yang satu dengan tampat yang lain. Fuya berasal dari wuyang, nama dari saung kain kulit kayu di Minahasa.
Terkesima menikmati pemandangan berbukit dan lamunan gambaran duo Sarasin, perlahan terdengar irama yang menyentak. Terdengar suara merdu musik bambu yang yang dimainkan warga di samping rumah Sekdes Mapahi Musa M Pasa. Mapahi merpakan desa di pedalaman Kecamatan Pipikoro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, di pinggir Taman Nasional Lore Lindu.
Fadlun Saus merasakan suasana Eropa ketika di musik bambu mengalun di pagi itu. ‘’Nggak kalah dengan musik Eropa. Bagus banget, sampai terngiang-ngiang terus,’’ ujar gadis dari subetnis Jaton-Minahasa, saat sudah berada di rumahnya di Gorontalo, Ahad (29/5).