Jumat 24 Feb 2017 14:46 WIB

Bersepeda di Desa Wisata Hijau Bilebante Lombok

Rep: M Nursyamsyi/ Red: Indira Rezkisari
Desa Wisata Bilebante, Lombok, NTB.
Foto: Republika/M Nursyamsi
Desa Wisata Bilebante, Lombok, NTB.

REPUBLIKA.CO.ID, Geliat pariwisata Lombok kian menjalar, bahkan hingga ke pelosok desa. Bilebante contohnya. Dikenal dengan desa yang penuh debu lantaran merupakan lokasi galian pasir, kini menjelma menjadi desa wisata hijau.

Berada di Kecamatan Pringgarata, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), puluhan pemuda berupaya mengubah citra kampungnya menjadi desa yang layak dikunjungi wisatawan.

"Kita merintis ini dari 2015, awalnya enggak percaya jadi desa wisata, karena (desa) ini lokasi galian pasir yang paling bagus, bahkan hingga dijuluki desa pasir atau 'wisata' debu," ujar Ketua Desa Wisata Hijau Pahrul Azim (33) saat disambangi Republika.co.id.

Pria yang bekerja sebagai staf di Kantor Desa Bilebante mengaku beberapa kali mengikuti sejumlah pelatihan yang diselenggarakan Kementerian Koperasi dan UMKM. Selain itu, sejak April 2015, Bilebante juga ditunjuk sebagai salah satu desa di Lombok yang mendapat pembinaan langsung dari Kementerian Koperasi dan UMKM, Kementerian Desa, Bappenas, serta juga Kementerian Pariwisata.

Dari pengalaman ini hatinya tergerak untuk mengubah desanya. Bersama 32 pemuda lain di Bilebante, ia merintis Desa Wisata Hijau (DWH) Bilebante pada 5 September 2016. Tim DWH Bilebante diisi para generasi muda desa yang mendapat pendampingan dari Deutsche Gesellschaft fur Internationale Zusammbenarbeit (GIZ).

"Turis asing katanya kan lebih senang menyaksikan langsung ke lokasi, melihat cara bertani, kehidupan masyarakat pedesaan, kenapa tidak kita angkat itu," ucap ayah dari tiga anak ini.

Wilayah Bilebante tercatat seluas 2,78 km persegi. Dengan 221 hektare areal persawahan, dan luas kebun mencapai 85 hektare, Bilebante memiliki potensi besar menarik minat wisatawan, terutama wisatawan mancanegara (wisman). Terlebih lokasi Bilebante hanya berjarak 16 km dari Kota Mataram atau hanya menempuh 45 menit perjalanan darat dari Ibu Kota Provinsi NTB tersebut.

Pahrul menjelaskan Bilebante merupakan istilah dari dua kata dalam bahasa Sasak yaitu Bile yang berarti buah maja dan Bante yang berarti semak belukar. "Jadi Bilebante artinya pohon bile yang ditumbuhi semak belukar sampai mati dan akhirnya terbentuklah nama desa Bilebante," tutur dia.

Jika pada beberapa tahun lalu Bilebante dikenal warga sekitar sebagai kawasan yang penuh debu akibat banyaknya lokasi galian pasir, kini perlahan bertransformasi menjadi desa hijau yang begitu rindang.

"Saat ini galian pasir hampir sudah tidak ada lagi, namun potensi untuk digali tetap ada karena para penambang tetap mencari celah melakukan galian," ucap Pahrul.

Pria yang juga mengajar di SMK Bangun Bangsa ini mengapresiasi sikap tegas Kepala Desa Bilebante Rakyatulliwa'uddin yang berkomitmen untuk tidak memberikan izin penambangan lagi, kecuali yang layak tambang. Rakyatulliwa'uddin terkesan dengan semangat anak muda yang mampu menelurkan inovasi di desa ini.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement