REPUBLIKA.CO.ID, Gerimis tidak memperlihatkan tanda-tanda akan berhenti, tetapi ribuan orang terlihat berbondong-bondong memadati The Bund, salah satu tempat paling populer bagi wisatawan di Shanghai, Cina. The Bund adalah semacam dermaga atau pelataran di pinggir Sungai Huangpu yang membelah Kota Shanghai.
Seperti yang terlihat pada akhir pekan lalu, meski jam sudah menunjukkan pukul 22.00 waktu setempat, arus para turis dari berbagai negara tampak masih tetap mengalir untuk menikmati suasana malam yang penuh gemerlap cahaya. Inilah tempat paling digemari untuk didatangi di Shanghai dan kepergian ke kota terpadat di Cina itu dianggap belum lengkap bila belum berkunjung ke tempat ini.
Yang paling menarik dari The Bund adalah peninggalan sejarah berupa gedung-gedung dengan arsitektur kuno yang sampai sekarang masih dipelihara dengan baik, serta sejarah yang ada di baliknya. Pemandangan di kawasan The Bund sangat kontras dengan kawasan di seberang sungai dengan lebar sekitar 1 kilometer itu, yaitu deretan gedung modern pencakar langit yang bermandikan cahaya berbagai warna dan terlihat memakau dari The Bund pada malam hari.
Dengan latar belakang cahaya dari gedung pencakar langit yang dipisahkan oleh sungai itulah para turis di dermaga The Bund itu tidak melewatkan kesempatan untuk berfoto, baik secara bersama maupun swafoto bagi yang datang sendirian.
Bagi mereka yang menyukai seni arsitektur kuno, waktu paling tepat berkunjung ke The Bund adalah malam hari karena pada saat itulah kemegahan akan terlihat saat gedung tersebut bermandikan cahaya. Sebagai sebuah kawasan bisnis, The Bund dan Jalan Nanjing yang sepintas mirip suasana di Pasar Baru Jakarta, memang menawarkan banyak pilihan berbelanja barang-barang bermerek terkenal, serta melepaskan selera bagi yang gemar wisata kuliner.
Dahulunya, The Bund adalah daerah permukiman internasional ketika Shanghai dikuasai oleh kekuatan asing, yaitu dimulai dari akhir kekuasan Dinasti Qing (16-44-1911), sampai Perang Dunia Kedua ketika pasukan Jepang menyerbu dan menduduki sebagian wilayah Cina, lalu mengusir penghuni asing dari kawasan itu.
Permukiman internasional Shanghai merepresentasikan kekuatan Amerika Serikat dan Inggris di Shanghai yang dibangun untuk memastikan bahwa kepentingan perdagangan kedua negara, seperti yang tertuang dalam Perjanjian Nanking (1842) antara Cina dan Inggris. Selanjutnya, terdapat perjanjian dengan negara asing lain, seperti Prancis, Rusia, Portugal, dan Jepang.
Itulah sebabnya arsitektur bangunan di sepanjang dermaga di pusat kota mengikuti gaya negara barat yang mempunyai pejanjian dagang di Cina. Arsitektur bangunan tersebut berbaur dengan arsitektur asli Cina.
Terdapat sekitar 50 gedung dengan berbagai gaya, mulai dari Art Deco, Boroque, Beaux-Art, Neo-Klasik, sampai Renaissance, sehingga membuat Shanghai dinobatkan sebagai kota dengan koleksi art deco paling besar dan terkaya di dunia.
Karena alasan pelestarian peninggalan sejarah di sepanjang The Bund, diterapkan pembatasan pembangunan di kawasan tersebut karena dikhawatirkan bisa merusak keindahan arsitektur kuno. Dengan demikian, kemegahan dan keindahan deretan bangunan kuno dari berbagai negara barat akan terus terjaga seperti pada masa jayanya.
Sejarah Shanghai
Terbentuknya The Bund tidak bisa dipisahkan dari perjalanan sejarah Kota Shanghai, yaitu kota pelabuhan yang sibuk sejak 1553. Sebelum abad ke-19, Shanghai sebenarnya bukanlah kota yang besar dibandingkan kota lain di seluruh Cina.
Perubahan drastis terjadi ketika kota tersebut dijadikan pusat perdagangan dengan negara lain, terutama Barat mengingat posisi yang strategis di pantai timur. Peperangan dengan Inggris yang dikenal dengan Perang Opium di awal abad ke-19 ditandai dengan perjanjian Nanjing pada tahun 1842, yang salah isi perjanjian itu membuka Shanghai sebagai pelabuhan perdangangan internasional.
Perang antara Cina dan Jepang (1894-1895) memperebutkan kuasa atas Korea diakhiri dengan Perjanjian Shimonoseki ketika Jepang bangkit sebagai penguasa asing baru di Shanghai. Pendirian pabrik pertama yang segera diikuti oleh penguasa-penguasa asing lainnya hingga membangkitkan kegiatan industri. Ketika itu Shanghai merupakan pusat keuangan terbesar di Asia Timur.
Pertengahan tahun 80-an adalah kebangkitan Shanghai kembali menjadi metropolitan dan terus berkembang sampai sekarang sebagai salah satu perdagangan paling penting di Asia, bahkan dunia. Perusahaan-perusahaan asing membuka investasi dan pabriknya di Shanghai.
Infrastruktur yang sangat modern tersedia di Shanghai, termasuk Transrapid yang dinamakan Maglev dengan kecepatan 430 km per jam. Dengan kecepatan tersebut, jarak antara Jakarta dan Semarang bisa ditempuh dalam waktu 1 jam.
Dengan penduduk sekitar 23 juta jiwa dan luas wilayah 10 kali lebih luas dari Jakarta, Shanghai yang meski kota terpadat di Cina, memiliki sarana transportasi yang modern dengan sistem pengelolaan yang baik sehingga lalu lintas berjalan dengan lancar. Hampir tidak pernah terjadi perjalanan 10 kilometer harus ditempuh berjam-jam seperti yang saat ini terjadi di Jabodetabek.
Shanghai terus berusaha memikat para investor dunia untuk memindahkan bisnis dan industri mereka ke sana dengan mengandalkan infrastruktur sudah sangat maju dibanding negara Asia lainnya.