REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kelompok wisatawan milenial dan mereka yang rata-rata berusia muda berkisar 18-34 tahun atau lebih dikenal dengan Generasi Y diperkirakan akan mendominasi pasar wisata dunia. Deputi Pengembangan Industri dan Kelembagaan Kementerian Pariwisata (Kemenpar) Rizki Handayani Mustofa mengatakan fakta tersebut harus direspons dengan antisipatif mengingat wisatawan milenial memiliki cara tersendiri dalam berwisata.
"Pada 2019, lebih dari 50 persen dari tiap pasar pariwisata Indonesia sudah merupakan milenial. Wisatawan milenial akan terus tumbuh dan menjadi pasar utama," kata Rizki, Sabtu (20/10.
Dia mencatat, untuk pasar pariwisata Asia didominasi wisatawan milenial berusia 15-34 tahun mencapai hingga 57 persen. Di Cina generasi milenial akan mencapai 333 juta, Filipina 42 juta, Vietnam 26 juta, Thailand 19 juta, sedangkan Indonesia 82 juta.
Rizki mengatakan, banyak negara mulai menyasar pasar milenial Indonesia, seperti Korea dan Jepang, dengan gaya promosi dan iklan visual, promosi kebudayaan, kuliner, dan lainnya sangat menyasar wisatawan milenials. "Saya berharap di 2019 Indonesia tidak kecolongan dalam mengantisipasi potensi wisatawan milenial," katanya.
Menanggapi hal itu Founder Rumah Perubahan Rhenald Kasali menilai bisnis pariwisata dan tantangan di era digital dan millennial tourism ditandai dengan terjadinya disrupsi ekonomi pariwisata. "Milenial yang membuat disrupsi di pariwisata. Disrupsi mempersingkat dan menekan harga dengan teknologi sehingga membuat cara-cara lama tidak dipakai lagi. Milenial dan teknologinya bisa menyebabkan harga tidak naik meskipun rupiah turun," kata Rhenald.
Rhenald menjelaskan, ciri milenial tiap negara berbeda-beda dan mereka memiliki kekhasan yang dilatarbelakangi budaya dan lingkungan. Misalnya, milenial Amerika Serikat yang memiliki moto work hard play hard. Mereka lebih suka mengumpulkan uang demi liburan yang berkualitas.
Sedangkan milenial Eropa dikenal memiliki budget conscious. Mereka mempunyai kebiasaan traveling hingga tiga kali dalam setahun dan lebih menyukai personal guide. Berbeda dengan milenial dari Asia yang dalam setahun melakukan traveling maksimal dua kali dengan jarak kurang dari empat jam dan menggunaan paket tur standar.
"Untuk wisatawan milenial Cina mempunyai pengeluaran yang besar dalam melakukan perjalanan menggunakan paket tur dan lebih suka mencari destinasi yang populer. Selera wisatawan milenial Cina terjadi peningkatan khususnya dalam menggunakan hotel berbintang dari bintang tiga ke bintang empat," kata Rhenald.
Ia mengatakan, kondisi tersebut berbeda dengan wisatawan milenial India yang lebih banyak dengan anggaran paket tur dan perjalanan keluarga. "Wisatawan India agak pelit terutama dalam bayaran dan ngasih tip wisata," katanya.
Sementara wisatawan milenial Indonesia dominan memilih perjalanan di dalam negeri atau destinasi di kawasan Asia Tenggara. "Destinasi di dalam kawasan yang anti-mainstream sangat disukai wisatawan milenial Indonesia," katanya.