Sabtu 08 Dec 2018 13:01 WIB

Museum Afrika di Belgia Dibuka dengan Pandangan Baru

Selama ini Barat kerap mempersepsikan diri sebagai pembawa peradaban ke Afrika.

Rep: Afrizal Rosikhul Ilmi/ Red: Indira Rezkisari
Pahatan dengan tulisan di bawahnya 'Belgia membawa peradaban ke Kondo' di dalam atrium Museum Afrika di Tervuren, Belgia. Museum dibuka kembali setelah renovasi 10 tahun termasuk mengubah isinya yang dulu hanya menampilkan satu sisi sejarah.
Foto: AP
Pahatan dengan tulisan di bawahnya 'Belgia membawa peradaban ke Kondo' di dalam atrium Museum Afrika di Tervuren, Belgia. Museum dibuka kembali setelah renovasi 10 tahun termasuk mengubah isinya yang dulu hanya menampilkan satu sisi sejarah.

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Museum Afrika di Belgia akan dibuka kembali untuk umum pada Ahad (9/12). Museum beroperasi setelah lima tahun renovasi yang dirancang untuk memodernisasi museum dari sebuah pameran propaganda pro-kolonial ke salah satu yang kritis terhadap masa lalu imperialis Belgia.

Sebelumnya, museum yang penuh dengan artefak dan boneka satwa liar itu kerap dikritik karena mengabaikan kebrutalan Raja Leopold II. Ia mengumpulkan tangan orang-orang yang menolak kerja paksa pada saat jutaan orang Kongo diperkirakan telah mati.

Banyak artefak yang tersisa, yang dipamerkan oleh seniman-seniman Kongo, salah satunya termasuk sebuah pohon keluarga beranggotakan 120 orang. Setelah direnovasi, sejarah kolonial kini hanya terkonsentrasi di satu galeri, tidak mendominasi keseluruhan museum. Pameran seni saat ini juga berurusan dengan isu-isu terkini yang dihadapi Republik Demokratik Kongo (DRC) dan diasporanya.

"Kami juga menganggap tanggung jawab kami bahwa selama lebih dari 60 tahun, kami telah menyebarluaskan gambaran cara berpikir Barat yang superior ke budaya Afrika," kata direktur museum Guido Gryseels, dilansir dari Reuters.

Sebelumnya, dalam rotunda besar, terdapat sebuah patung permanen dari seorang misionaris Eropa dengan seorang bocah Afrika yang memegangi jubahnya. Tertera pula sebuah plakat yang berbunyi, "Belgia membawa peradaban ke Kongo".

Sekarang ruangan itu didominasi oleh patung kayu raksasa kepala seorang pria Afrika, yang dipahat oleh seorang seniman kelahiran DRC. Renovasi ini menghabiskan dana senilai 66 juta euro, yang dibangun di sebuah gedung megah bergaya neoklasik di sebuah taman yang indah di luar Ibu Kota Brussels.

Namun aktivis mengatakan koleksi dari artefak yang dicuri merupakan kelanjutan dari kolonialisme. "Tidak ada dekolonisasi tanpa restitusi," kata Mireille-Tsheusi Robert, yang lahir di DRC sebelum pindah ke Belgia. Di Belgia dia menulis sebuah buku tentang rasisme.

Perdebatan tentang apakah seni era kolonial harus dikembalikan ke rumah telah meningkat setelah Presiden Prancis Emmanuel Macron berjanji untuk mengembalikan beberapa seni Afrika ke benua itu. Jerman tahun ini juga menerbitkan pedoman untuk mempertimbangkan repatriasi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement