REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai definisi wisata halal menjadi salah satu kendala yang menyebabkan destinasi halal Indonesia dinilai masih kurang populer. Masyarakat di negara mayoritas muslim seperti Indonesia cenderung melihat wisata halal sama dengan wisata religi.
"Jadi masalah pemahaman pariwisata halal, yang jadi bias di masyarakat. Karena masyarakat mikirnya wisata halal itu sama dengan wisata syariah atau religi," ujar Pakar Pariwisata Universitas Andalas, Sari Lenggogeni, kepada Republika Senin (25/3).
Sari menjelaskan wisata halal merupakan adopsi dari negara- negara non Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang melihat potensi besar dari pertumbuhan muslim di seluruh dunia. Wisata halal diciptakan untuk mewadahi kebutuhan beribadah bagi para muslim di negara- negara non OKI, seperti penyediaan tempat ibadah (mushola) dan restoran halal.
"Tetapi hal ini kemudian menjadi misintepretasi ketika Kementerian Pariwisata mengadopsi wisata halal, karena diciptakan di negara yang mayoritas muslim seperti Indonesia. Karena mayoritas muslim jadi masyarakat pikir semuanya sudah pasti halal dan wisata halal sama seperti wisata religi," paparnya.
Sari menjelaskan ada tiga jenis wisata religi. Pertama, wisata dengan tujuan beribadah (pilgrim) seperti haji dan umroh. Kedua, wisata bersifat islami contohnya berwisata ke Turki untuk melihat sejarah kebudayaan Islam usai melakukan ibadah umroh. Ketiga, wisata halal yakni pemenuhan ibadah muslim saat mereka berwisata seperti mushola dan restoran halal.
"Jadi mereka melihat seperti wisata syariah Aceh. Di Aceh memang hukumnya syariah, jadi sudah sejak awal terikat hukum syariah. Sementara provinsi yang lain tidak seperti itu," jelas Sari.
Sama halnya seperti di Sumatera Barat masih pakai hukum adat. Persepsi karena di Sumbar mayoritas muslim dan menggunakan falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (Adat itu berfalsafah pada Al quran), maka setiap apapan kegiatan harus bereferensi ke Alquran.
Hal inilah yang membuat mispersepsi muncul sehingga membuat banyak masyarakat yang bingung. Masyarakat menganggap wisata di kedua provinsi tersebut sama dengan wisata religi.
"Makanya perlu regulasi untuk menyamakan persepsi. Regulasi ini yang mentok. Tidak akan berjalan dengan baik tanpa ada regulasi. Regulasi ini yang memberikan perlindungan dan asistensi pada pemerintah, wisatawan, stakeholder dan investasi, dan souvenirnya," jelas Sari.