REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Tradisi menenun belum habis dimakan zaman. Setidaknya, itulah yang menjadi harapan penenun-penenun di Dusun Sejati, Desa Sumberarum, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman. Di tengah globalisasi mereka setia menjaga tradisi. Walau berbekal perlengkapan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) terbatas, mereka tidak lantas meninggalkan warisan nenek moyang.
Koordinator UB Pelangi Sejati, Asteria Harsiyah, mengatakan kegiatan menenun sudah menjadi tradisi di Dusun Sejati. Akan tetapi kemajuan zaman membuat tradisi itu tergeser.
Tapi, itu tidak menjadi alasan bagi mereka mengembangkan tenun. Dengan sentuhan kreativitas, tenun-tenun yang dulu sekadar menjadi stagen untuk kemben ibu-ibu disulap jadi produk lain bernilai ekonomi lebih tinggi.
Asteria mengatakan zaman dulu tenun-tenun yang ada terbilang monoton. Apalagi warna-warna kain tenun yang sangat terbatas seperti hitam dan merah. Sejak 2015, Asteria bersama tidak kurang 40 ibu-ibu Desa Sejati mulai mengembangkan tenun.
Tidak cuma menjadi stagen, tenun bisa dikreasikan menjadi barang-barang menarik. "Hasilnya kita bikin berbagai macam kerajinan seperti gelang, peci, kopiah, tas, baju, syal dan lain-lain," kata Asteria, Selasa (23/4).
Walau masih muda, Asteria sangat menguasai tiap-tiap proses menenun dan mampu menjelaskan dengan sangat cekatan. Ia menjelaskan proses ngelos atau mengelos benang ke pelenting. Ngelos adalah proses menggulung benang ke pelenting dan dipindahkan ke alat pengatur benang. Benang dikuatkan dengan kanji agar mudah saat ditenun.
Lalu ada proses nyekir yang sangat penting untuk menentukan pola, panjang, dan lebar kain. Selanjutnya ada proses nyujuk atau menyusun benang ke tiap-tiap helai benang ke celah-celah serat. Setelah itu, benang digulung kembali menggunakan alat ngelos dan barulah bisa dimulai proses menenun.
Menenun memang membutuhkan kesabaran. "Bahkan untuk proses-proses tertentu tidak bisa diajak berbicara karena harus menghitung secara pasti," ujarnya.
Lokasi Desa Sejati yang cukup jauh dari kota besar tidak membuat para penenun berkecil hati. Bahkan, mereka memanfaatkan platform daring (online) untuk menjajakan produk mereka. UB Pelangi Sejati juga telah terdaftar di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sleman sehingga mereka cukup rajin mengikuti pameran-pameran di Indonesia.
"Terjauh, UB Pelangi Sejati tahun lalu sudah tampil di Pekan Raya Jakarta atau Jakarta Fair," kata Asteria. Produk-produk tenun UB Pelangi Sejati dijual mulai Rp 10-300 ribu tergantung jenis. Syal, misalnya, sudah bisa dibawa pulang dengan merogoh kocek Rp 25 ribu saja.
Mereka tetap menjual kain lurik utuh sebagai bahan dengan harga Rp 15 ribu per meter. Sedangkan kain untuk bahan baju dijual dengan harga Rp 45 ribu per meter. "Omset per bulan sekitar Rp 500 ribu," ujar Asteria.
Angka itu mungkin masih terbilang kecil namun justru itu yang luar biasa. Omset yang tidak terlalu besar tidak menjadi masalah bagi mereka untuk terus melestarikan tradisi tenun. Bagi Asteria, yang masih menjadi kendala adalah kemauan generasi muda untuk melestarikan tradisi menenun. Terlebih, menenun sudah mendapat predikat kuno.
Padahal menenun dan tenun merupakan warisan emas bangsa. Asteria berpendapat jika generasi muda tak bisa melestarikan, bukan tidak mungkin tradisi itu hilang ditelan zaman.