Senin 17 Jun 2019 21:30 WIB

Sistem Pemesanan Daring Pendakian Rinjani Belum Maksimal

Kepala Balai TNGR Sudiyono mengatakan sistem pemesanan daring Rinjani masih uji coba.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Yudha Manggala P Putra
Seorang tukang ojek melintas di padang savana jalur pendakian Gunung Rinjani, Sembalun, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, NTB, Jumat (22/9). Rinjani merupakan salah satu potensi wisata yang menjadi sumber pendapatan daerah Lombok Timur.
Foto: ANTARA FOTO/AHMAD SUBAIDI
Seorang tukang ojek melintas di padang savana jalur pendakian Gunung Rinjani, Sembalun, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, NTB, Jumat (22/9). Rinjani merupakan salah satu potensi wisata yang menjadi sumber pendapatan daerah Lombok Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Jalur pendakian Gunung Rinjani telah kembali dibuka pada Jumat (14/6), setelah ditutup hampir satu tahun akibat dampak dari bencana gempa yang melanda Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada akhir Juli dan Agustus lalu.

Pembukaan kembali jalur pendakian mendapat sambutan hangat dari para pelaku usaha wisata yang ada di kawasan Sembalun di Kabupaten Lombok Timur dan kawasan Senaru di Lombok Utara, yang berada di kaki Gunung Rinjani.

Jalur pendakian menjadi sumber perekonomian warga yang selama berkutat pada penyediaan jasa pendakian, penginapan, hingga kuliner. Meski telah kembali dibuka, aktivitas pendakian hingga kawasan yang ada di sekitarnya masih menyisakan sejumlah persoalan.

Komunitas Pemerhati Lingkungan Hidup (KPLH) Sembapala Rijalur Fikri mengaku bersyukur atas kembali dibukanya jalur pendakian. Meski begitu, Rijal menyoroti persoalan sistem pemesanan daring (online) berbasis aplikasi yang diterapkan Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR).

Menurut Rijal, sistem pemesanan tersebut belum maksimal dan cenderung menyulitkan para calon pendaki. Rijal menjabarkan, kuota pemesan pendakian perdana pada aplikasi hampir seluruhnya terjual. Namun saat di lapangan justru tidak ada pendaki yang dianggap telah memesan tiket pendakian melalui aplikasi.

"Kekhawatiran kami nanti calon pendaki jadi ragu kalau mau ke sini karena melihat kuota di aplikasi sudah habis, padahal kenyataannya kemarin malah jarang pendakinya," ujar Rijal saat dihubungi Republika dari Mataram, NTB, Senin (17/6).

Pada dasarnya, Rijal sepakat dengan sistem kuota yang diterapkan guna menjaga kelestarian alam di Gunung Rinjani dan sebagai tahap awal setelah lama ditutup akibat gempa. Namun, Rijal berharap kualitas aplikasi ditingkatkan agar orang yang memesan adalah orang benar-benar ingin mendaki.

"Kalau belum siap, mungkin dibarengi dengan pemesanan offline agar wisatawan yang sudah datang ke Sembalun bisa mendaki," kata Rijal.

Kepala Balai TNGR Sudiyono memgatakan sistem pemesanan secara daring memang masih dalam tahap uji coba. Sudiyono tidak menampik jika pada implementasinya masih ditemukan sejumlah kekurangan. Oleh karenanya, Balai TNGR akan menjadikan masukan tersebut sebagai evaluasi.

"Kalau kenyataannya sistem online kesalahan aplikasi maka kami perbaiki atau kita tetap juga buka pemesanan secara offline nantinya," kata Sudiyono.

Kepala Dinas Pariwisata Lombok Timur Mugni mendukung penerapan kuota untuk pendaki. Menurut Mugni, penerapan kuota merupakan upaya dari Balai TNGR dan pemda untuk mendorong perekonomian warga dan menjaga kelestarian alam di jalur pendakian.

"Naik Rinjani tidak boleh semau-maunya dan sebanyak-banyaknya, tapi harus ada kuota," ucap Mugni.

Pemikiran Mugni, apabila wisatawan datang namun tidak bisa mendaki pada hari kedatangan, maka bisa bermalam dulu di penginapan yang ada di sekitar Sembalun sehingga akan menggerakan roda perekonomian warga yang bergelut di bidang penginapan hingga kuliner.

"Kalau mereka tidak bisa langsung mendaki kan bisa menginap dulu untuk menikmati kopi Sembalun dan suasana Sembalun biar warga sekitar mendapat manfaat," kata Mugni menambahkan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement